Setiap ada kegiatan yang bernuansa islami seperti tahfidz quran, salat duha berjamaah atau ibadah lainnya di Madrasah, Martogi selalu menunjukkan rasa hormat.
Ia membantu menyiapkan perlengkapan, mengatur administrasi kegiatan, bahkan memastikan semua berjalan tertib meski ia sendiri tidak ikut dalam ibadah.
Baginya, membantu menyukseskan kegiatan agama orang lain bukanlah bentuk kehilangan identitas, tetapi justru tanda penghormatan.
Baca Juga: Rico Waas Tegaskan Komitmen Pemko Berdayakan Masjid sebagai Pusat Keagamaan dan Sosial
Banyak siswa yang merasa nyaman berinteraksi dengannya. Ketika mereka bertanya, "Bu, Ibu agamanya apa?" Martogi selalu menjawab dengan sederhana, “Ibu berbeda, tapi kita semua saudara. Kita tetap harus saling menghargai,” ujarnya.
Kalimat singkat itu, bagi siswa-siswa MIN 9 Langkat, adalah pelajaran moderasi yang tidak mereka dapatkan dari buku. Seiring waktu, Martogi menjadi salah satu figur yang dihormati. Rekan-rekannya mengatakan bahwa ia adalah simbol moderasi beragama.
Hadir sebagai minoritas, namun memberi pengaruh besar dalam menciptakan suasana madrasah yang damai dan inklusif.
Dalam sebuah rapat internal, Kepala MIN 9 Langkat, Sopian S. Pd. I., M. Sos., pernah berkata, “Bu Martogi adalah bukti bahwa moderasi beragama tumbuh dari hati, bukan dari seragam atau identitas, "ucapnya.
Pengakuan itu membuat Martogi terharu. Baginya, ia hanya melakukan yang terbaik sesuai keyakinannya bahwa keberagaman adalah anugerah.
Kisah Martogi Veronica Manik di MIN 9 Langkat mengajarkan kita bahwa moderasi beragama tidak selalu diwujudkan dalam ceramah atau materi pelajaran. Kadang, wujud terbaiknya justru datang dari cara kita melayani orang lain, bagaimana kita menghargai perbedaan, dan bagaimana kita menebarkan kebaikan tanpa melihat latar belakang siapa pun.
Martogi mungkin bekerja di balik meja administrasi. Namun dari tempat itulah ia menyalakan lentera moderasi yang cahayanya menerangi seluruh madrasah.(IW)