Sebelumnya di waktu bersamaan pada hari pertama rangkaian COP 26 ini, Asian Development Bank (ADB) juga telah bergabung dalam komitmen bersama dengan PLN untuk mendukung transisi energi hijau.
Di sisi lain, Managing Director of Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF) Mason Wallick melihat kondisi over suplai dari pembangkit fosil saat ini cukup membebani PLN dalam mengembangkan pembangkit EBT. Terlebih proyeksi pertumbuhan permintaan listrik tidak akan mampu mengejar over suplai dalam jangka waktu 10 tahun.
"Reformasi dan modernisasi tarif PLN akan membuka jalan bagi alokasi risiko untuk terobosan ke depan untuk pembiayaan campuran dan pendanaan sektor swasta," ujar Mason.
Dia pun optimistis rencana jangka panjang ini jika dilakukan akan mengubah struktur biaya PLN secara dramatis. Seiring berjalannya waktu, dengan peningkatan kapasitas maka transisi energi EBT yang murah akan menumbuhkan lapangan pekerjaan baru dan memperbaiki ekonomi.
Sementara itu, Director of the Environment Directorate of the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Rodolfo Lacy memproyeksikan arah energi dan perubahan iklim akan ditentukan oleh perkembangan negara berkembang. Di luar China, negara-negara berkembang berkontribusi terhadap seperlima investasi energi pada 2020, atau sekitar USD 150 miliar.
"Berita baiknya adalah tidak ada kekurangan pada modal global. Teknologi juga ada. Global Financial System sekarang sangat mencari untuk menambah portfolionya dengan proyek ramah lingkungan," ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna pun memastikan pemerintah akan berupaya meningkatkan akses proyek EBT terhadap pembiayaan global.