Akibatnya, KTH yang secara sah telah mendapatkan izin kelola hutan dan memanfaatkan hutan secara lestari harus berhadapan dengan praktik pengelolaan hutan yang merusak hutan; perkebunan kelapa sawit, pertambakan, dan pengambilan kayu).
Kedua; kebijakan Perhutanan Sosial dimanfaatkan oleh Oknum Pengusaha/Pemodal tertentu untuk mendapatkan akses kelola hutan secara sah dengan menggunakan identitas masyarakat local sebagai pengurus dan anggota kelompok tani hutan.
Petani sering dijadikan objek oleh Oknum Pemodal untuk menguasai sumber daya hutan. Lemahnya verifikasi teknis dalam proses pengusulan izin Perhutanan Sosial merupakan penyebabnya. Di lapangan, proses tersebut dilakukan tanpa diketahui oleh Petani yang namanya didaftarkan sebagai Pengusul izin Perhutanan Sosial. Akibatnya, setelah terbitnya izin, konflik antara masyarakat dengan pengusaha/pemodal pun terjadi.
Konflik ini pun berakibat pada berbagai intimidasi dan kriminalisasi yang dialami Masyarakat. Contohnya kasus Kelompok Tani Nipah di Desa Kuala Serapuh, Kec. Tanjung Pura, Langkat di tahun 2021 lalu dan contoh lain yang baru timbul konflik perhutanan social dengan perkebunan kelapa sawit.
Ada 5 (lima) Kelompok Tani yang luasnya lebih kurang 598 haktar di desa Sungai Ular dan Desa Tanjung ibus, Kecamatan Secanggang, kini terintimidasi oleh pemilik kebun sawit yang di duga illegal yang berada di kawasan hutan dan tepatnya di bibit pantai timur kini sudah di sulap menjadi perkebunan kelapa sawit yang di duga secara illegal.
"Kami meminta kepada pihak penegak hukum dan pemerintah jangan tutup mata, harus adanya evaluasi dan meginventarisasi izin-izin di dalam kawasan hutan sehingga agar bisa menyesuaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan aparat penegak hukum harus jeli melihat persoalan di lapangan jangan timbang pilih," cetus Ari. (AA)