Realitasonline.id - Abdya | Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA), meminta pihak Kepolisian Daerah (Polda) untuk serius mengusut hingga tuntas jaringan penyelundupan imigran ilegal di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Ketua SaKA Miswar SH, di Blangpidie, Aceh Barat Daya (Abdya), Jumat (25/10/2024) dalam siaran tertulisnya, mengatakan kalau hasil investigasi SaKA mengungkapkan keterlibatan banyak pihak dalam jaringan perdagangan manusia ini, termasuk sopir dan pengusaha truk serta oknum kepala desa.
Miswar menyoroti dugaan keterlibatan seorang Keuchik di Kecamatan Tangan-Tangan, Kabupaten Abdya, yang ikut bersekongkol dalam pencucian uang hasil penyelundupan imigran ilegal tersebut.
Baca Juga: Sarangnya Atlet Pelajar, SMAN 4 Medan Lepas Wahyuni Tan di Student Athletic Championship 2025
Selain itu sebuah Truk Colt Diesel milik warga Kuala Batee, Abdya, diduga juga turut digunakan untuk mengangkut imigran ilegal dari pantai Barat-Selatan Aceh ke Sumatera Utara dengan tujuan akhir Malaysia.
Ongkos yang diberikan kepada sopir dan pengusaha truk ini mencapai Rp15 juta per orang, baik dari Labuhan Haji ke Medan maupun dari Meulaboh ke Dumai atau Tanjung Balai, Sumatera Utara.
HS, mantan narapidana yang bebas bersyarat, diduga menjadi otak di balik jaringan ini. HS yang memiliki hubungan dekat dengan tiga pelaku penyelundupan Rohingya di Labuhan Haji yang telah ditangkap.
Baca Juga: Berkat Pemberdayaan BRI, Petani Durian di Pekalongan Makin Berkembang Pesat
Miswar menegaskan bahwa Polda Aceh harus mengusut kasus ini secara menyeluruh untuk mencegah kerugian negara akibat penyelundupan imigran ilegal.
Miswar juga mengungkapkan bahwa banyak imigran Bangladesh yang membayar mahal untuk masuk ke negara ketiga, dan penyelundupan ini menguras sumber daya negara serta tenaga TNI-Polri dalam proses evakuasi selama ini.
Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang tegas untuk menghentikan praktik perdagangan manusia (TPPO) ini.
Selain itu, Miswar menyoroti bahwa selama ini banyak pihak tertipu dengan dalih imigran Rohingya terdampar di perairan Aceh karena melarikan diri dari penindasan di negara asal mereka.