Mendagri juga menuturkan, kata Syah Afandin, awal tahun 2022 ini sudah ada beberapa kepala daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal itu harus menjadi perhatian semua pihak karena selain berdampak pada individu yang bersangkutan, juga terhadap kepercayaan publik kepada kepala daerah secara umum.
"Saya yakin banyak sekali kepala daerah berprestasi dan berkinerja baik, namun akan terdampak oleh segelintir yang tersandung hukum," ucap Plt Bupati mengulang kata Tito.
Bentuk tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi, dipaparkan Syah Afandin, terkait dengan pengadaan barang dan jasa, disusul promosi/ mutasi jabatan, lalu suap atau gratifikasi.
Selain itu, setidaknya ada tiga hal lainnya terkait sistem pemerintahan yang rawan terjadi tindak pidana korupsi.
Pertama, sistem politik. Sebab biaya politik yang tinggi untuk menjadi seorang kepala daerah menjadi penyebab tindakan korupsi demi menutupi hutang biaya politik.
"Jika kepala daerah terpilih, lalu pemasukannya kurang tidak bisa menutupi biaya politik akhirnya terjadi korupsi untuk menutup biaya politik," tuturnya.
Kedua, sistem rekrutmen transaksional. Ketiga, sistem administrasi pemerintahan yang membuka peluang tindak pidana korupsi.