Realitasonline.id - Abdya | Dewan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (DPP ISAD) Aceh, menilai kalau pemerintah pusat secara tidak langsung telah mengingkari semangat perdamaian Aceh terkait penetapan sepihak empat pulau yang menjadi hak mutlak Provinsi Aceh, ke dalam wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Pernyataan itu disampaikan, Wakil Ketua Umum DPP ISAD Aceh Dr Tgk Tabrani ZAkepada Realitas melalui siaran pers, Sabtu (14/6), yang dengan tegas menyatakan penolakan keras terhadap keputusan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, yang menetapkan empat pulau, Panjang, Lipan, Mangkir Gadang dan Mangkir Ketek, sebagai bagian dari wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Menurutnya, keputusan tersebut dinilai sebagai tindakan sepihak, yang tidak hanya melanggar logika administratif, tetapi juga mengkhianati komitmen damai dan keadilan historis, yang telah disepakati dalam konteks kekhususan Aceh.
Baca Juga: Cerita Fitriyana, Guru Muda yang Sukses Lulus CPNS 2024
Dalam pernyataan resminya, Tabrani ZA yang juga dikenal sebagai akademisi UIN Ar-Raniry dan Universitas Serambi Mekkah, serta peneliti pada SCAD Independen itu menyebutkan bahwa, keempat pulau tersebut secara sosial, historis dan administrative, telah menjadi bagian dari ruang hidup masyarakat Aceh, khususnya di wilayah Aceh Singkil.
Selama bertahun-tahun lanjut Pemuda asal Desa Ujung Tanah, Kecamatan Lembah Sabil, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) itu, pelayanan publik, aktivitas ekonomi nelayan, serta relasi sosial dan budaya, telah berjalan dalam kerangka wilayah Aceh.
“Ini bukan semata soal peta atau batas koordinat. Ini menyangkut harga diri dan legitimasi Aceh, sebagai daerah yang memiliki kekhususan berdasarkan perjanjian damai internasional. Empat pulau itu adalah bagian dari identitas dan kehormatan rakyat Aceh.
Ketika negara menetapkannya ke provinsi lain tanpa musyawarah, tanpa konsultasi, maka negara sedang memaksakan kebenaran sepihak dan membungkam sejarah hidup masyarakat,” tegas Tabrani, di Kantor DPP ISAD Simpang Jambo Tape, Banda Aceh.
Tabrani mengatakan, keputusan pemerintah pusat yang disahkan melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138/2025, mencerminkan bentuk dominasi kekuasaan pusat, yang menutup ruang dialog dan partisipasi. Pihaknya menilai, langkah Kemendagri tersebut merupakan bentuk kekuasaan hegemonic, yang tidak lagi mendasarkan dirinya pada consent atau persetujuan rakyat.
“Negara menggunakan instrumen hukum untuk menghapus realitas sosial. Ini sangat berbahaya dalam konteks Aceh, yang masih menyimpan luka kolektif dari konflik bersenjata masa lalu,” ujarnya.
Tabrani pengurus Dayah Manyang Puskiyai Aceh itu, mengingatkan, Aceh merupakan daerah bekas konflik, yang berhasil melewati fase paling sulit melalui mekanisme damai internasional. Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005, menjadi pondasi utama penyelesaian konflik Aceh dan telah melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menjamin otonomi substansial bagi Aceh, termasuk dalam mengelola wilayah administratifnya.
“Dengan latar belakang itu, keputusan Kemendagri bukan hanya salah arah secara administratif, tetapi juga merupakan pengingkaran terhadap dasar-dasar legal dan politis dari perjanjian damai. Jika negara bisa begitu mudah melanggar kesepakatan ini, maka rakyat Aceh juga bisa kehilangan alasan untuk percaya pada negara,” sebutnya.