Kabid Irwan Phonna, ST juga menyebutkan tidak hanya persoalan fasilitas yang menghambat pencapaian PAD, namun hal lainnya adalah regulasi (Perda) yang tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian.
Dicontohkan oleh Irwan Phonna, ST, tarif retribusi sampah pada toko dipungut sepuluh ribu rupiah/ bulan, sedangkan dari pedagang kakilima (PKL) dikutip Rp1.000 per-hari.
"PKL keberatan membayar sebesar itu. Kalau dikalikan 30 hari berarti mereka harus membayar tiga puluh ribu rupiah. Sedangkan pemilik toko hanya bayar Rp10 ribu perbulan," jelas Irwan Phonna.
Menurut Irwan Phonna, walau pun banyak para PKL yang tidak mau membayar retribusi sampah, namun petugas harus juga mengangkut sampah meskipun tidak menerima masukan ke kas daerah.
"Selama ini petugas di lapangan bukan hanya melayani yang wajib, tetapi di luar itu (sampah yang dibuang sembarang tempat) juga harus diangkut. Apabila tidak mereka angkut, masyarakat akan menyalahkan kami. Padahal itu bukan kewajiban kami," paparnya.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Bireuen, Drs Murdani yang dihubungi terpisah, memberikan tanggapan sama dengan Kabid Persampahan.
Menurutnya, ia sudah mengajukan penyesuaian target PAD pada instansi yang dipimpinnya dan perubahan Qanun (Perda) tentang Retribusi Pelayanan Persampahan.
"Kami sudah mengajukan permohonan untuk diturunkan target PAD, minimal sama dengan target tahun sebelumnya. Jika target sebesar yang ditetapkan sekarang ini, sangat sulit untuk tercapai, karena banyak kendala di lapangan," sebutnya.