Mengapa HPN 9 Februari

photo author
- Sabtu, 15 Januari 2022 | 00:27 WIB

Poin lain hasil kongres adalah kesadaran bahwa para wartawan Indonesia yang hadir sudah memikirkan masalah percetakan dan penerbitan koran, sebagai alat produksi dan juga alat perjuangan.

Sebab hanya melalui media mereka bisa terus menggelorakan perjuangan dan memberi informasi kepada masyarakat di berbagai pelosok yang juga coba dikuasai oleh Belanda. Berdirinya PWI ini kemudian kita ketahui diikuti dengan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) setahun kemudian di Yogya.

Berbagai catatan di atas menunjukkan magnitude peristiwa 9 Februari 1946 sebagai modal untuk menetapkannya sebagai Hari Pers Nasional dibandingkan dengan peristiwa lainnya, sebab tanggal itu bukan sekadar hari lahir PWI tetapi bersatunya seluruh wartawan untuk menyokong Republik Indonesia berusia jabang bayi yang terancam keberadaannya, agar dapat bertahan kukuh berdiri sebagai negara kesatuan seperti yang kita saksikan saat ini.


Dalam pertemuan yang dilakukan Dewan Pers untuk membahas Hari Pers Nasional atas usulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Independen (IJTI) dan dihadiri pemangku kepentingan, April 2018 lalu, sebagian besar peserta berpendapat bahwa sebaiknya organisasi wartawan dan pers lebih memikirkan tentang berbagai persoalan yang melanda jurnalisme saat ini.

Mulai dari merosotnya performa media cetak dari sisi jumlah media, jumlah oplah, dan keuntungan, karena digerus news agregator; semakin dipinggirkannya etika jurnalistik atas nama rating, kecepatan memberitakan, dan menurunnya kualitas wartawan; semakin suburnya media siber tidak bermutu karena begitu mudah dan murah untuk mendirikannya, yang diikuti dengan semakin banyaknya orang mengaku wartawan yang sama sekali tidak dibekali pelatihan ketrampilan jurnalistik apalagi pemahaman Kode Etik Jurnalistik.

Wartawan adalah profesi intelektual yang bekerja bagi sebesar-besarnya kepentingan publik, dalam hal ini untuk mengontrol kekuasaan, menyampaikan informasi, mengajak mereka berpartisipasi dalam pengambil kebijakan dengan membuka ruang diskusi dengan pembuat kebijakan. Wartawan bukan politisi yang sibuk berpolitik, yang sibuk untuk menuding dan mencari-cari kesalahan orang, mempersoalkan yang tidak penting, karena rasa tidak suka atau cemburu.

Dewan Pers yang memiliki SDM dan anggaran terbatas seharusnya dibantu oleh konstituen agar kemerdekaan pers Indonesia dapat terpelihara sesuai dengan semangat reformasi, apalagi saat ini tengah digerogoti pihak-pihak yang mengaku wartawan tetapi tidak bekerja dalam koridor kode etik yang telah disepakati bersama oleh komunitas pers.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kota Medan Kirim 5 Armada Damkar ke Aceh Tamiang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:43 WIB

UMP Sumut 2026 Naik 7,9 Persen Kini jadi Rp3.228.971

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:07 WIB
X