Realitasonline.id | Biodiesel semakin populer sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Dihasilkan dari sumber terbarukan seperti minyak nabati (kelapa sawit, kedelai, atau minyak jelantah) dan lemak hewani, biodiesel menawarkan solusi untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, seperti semua teknologi, biodiesel memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan. Berikut beberapa kelebihan dan kekurangan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif.
Kelebihan Biodiesel
1.Ramah Lingkungan
Biodiesel menghasilkan emisi karbon dioksida (CO₂) yang lebih rendah dibanding solar konvensional. Menurut penelitian, penggunaan biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50–80%. Selain itu, biodiesel tidak mengandung sulfur, sehingga mengurangi polusi udara penyebab hujan asam.
Baca Juga: Ban Racing vs Ban Biasa, Mana yang Lebih Cocok untuk Harian?
2.Sumber Terbarukan
Berbeda dengan minyak bumi yang membutuhkan jutaan tahun untuk terbentuk, biodiesel berasal dari tanaman yang bisa ditanam kembali. Hal ini menjadikannya pilihan berkelanjutan untuk masa depan energi.
3.Kompatibel dengan Mesin Diesel
Sebagian besar mesin diesel modern dapat menggunakan biodiesel tanpa modifikasi signifikan, terutama campuran B20 (20% biodiesel, 80% solar). Ini memudahkan transisi ke energi hijau tanpa mengganti infrastruktur.
4.Mendorong Ekonomi Lokal
Produksi biodiesel berbasis kelapa sawit atau minyak jelantah mendukung petani dan UMKM lokal. Di Indonesia, program B30 (30% biodiesel) telah menciptakan lapangan kerja di sektor pertanian dan pengolahan.
5.Biodegradable dan Aman
Biodiesel mudah terurai di alam, mengurangi risiko pencemaran tanah dan air jika terjadi tumpahan.
Baca Juga: Mobil Diesel Modern 2025: Masih Relevankah di Era Listrik?
Kekurangan Biodiesel
1.Biaya Produksi Tinggi
Harga biodiesel masih lebih mahal daripada solar karena proses produksi yang kompleks. Biaya ekstraksi minyak nabati dan pemurnian memengaruhi harga akhir.
2.Isu Lahan dan Pangan
Produksi biodiesel skala besar berpotensi memicu alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, seperti yang terjadi di Indonesia dan Malaysia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran deforestasi dan kompetisi dengan kebutuhan pangan.