Atas peristiwa bentrok tersebut, lanjut Dwi, pihak JTP-DENS kemudian melaporkan tindak pidana pengeroyokan dan secara cepat langsung ditanggapi Polres Taput. Sementara laporan yang disampaikan pihak Satika Simamora-Sarlandy hingga saat ini tidak ada kejelasan.
“Kami kecewa, ini kan perkara split (saling lapor). Tetapi kenapa laporan pihak 02 begitu cepat ditindaklanjuti, ditetapkan tersangka dan ditahan, sementara laporan kami sama sekali tidak ada kejelasan,” kata Dwi.
Kemudian kata Dwi, dalam menangani perkara yang dilaporkan pihak 02, pihak Polres Taput terlalu prematur dalam menetapkan tersangka. Menurut Dwi, Polres Taput terkesan mengangkangi KUHAP dan sembarangan dalam menetapkan Rivai Simanjuntak sebagai tersangka padahal pada saat kejadian, Rivai tidak berada di lokasi.
“Ini kan sudah terbalik-balik ini Polres Taput. Seseorang, seperti Rivai Simanjuntak langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan tanpa proses lidik, proses sidik, lansung jadi tersangka,” jelas Dwi.
Harusnya, kata Dwi lagi, proses penetapan seseorang menjadi tersangka diawali dari proses lidik, sidik, dan apabila ditemukan 2 alat bukti baru bisa ditetapkan tersangka.
“Nah, kalau kasus Rivai Simanjuntak terbalik-balik nih. Ditetapkan dulu dia sebagai tersangka. Belakangan status tersangka dicabut dan diturunkan menjadi status saksi. Ini ada apa dengan Polres Taput semena-mena mencabut status tersangka. Pencabutan status tersangka harus melalui SP3, bukan secara sembarangan main cabut status tersangka, ini sangat aneh,” kata Dwi.
Kemudian soal laporan penyebaran foto-foto asusila yang dilakukan di Sipahutar. Dwi mengatakan laporan yang menyangkut tindak pidana pornografi tersebut hingga saat ini tidak ada tindak lanjutnya. Menurutnya, polisi sudah dibekali dengan pengetahuan untuk bisa mengungkap siapa dalang dibalik penyebaran foto-foto asusila tersebut.
“Jadi ada 2 yang utama kami laporkan ke Bid Propam Polda Sumut, yaitu penanganan perkara saling lapor (split) kasus bentrok di Pahae Jae, Polres Taput tidak profesional. Dan kasus penyebaran foto-foto asusila (pornografi) Di Sipahutar. Kami menganggap Polres Taput tidak profesional, tidak bersikap netral dalam proses Pilkada. Kami minta Kapolres Taput dicopot,” ungkapnya.
Ayam Sayur
Baca Juga: Polda Sumut Siapkan Skema Pengamanan Zona Jelang Debat Ketiga Calon Gubernur, 1.451 Personel Dikerahlan
Saat melapor ke Bid Propam Poldasu, Dwi Ngai dan rekan-rekannya turut membawa lima ekor ayam potong alias ayam untuk disayur. Menurutnya, ayam potong tersebut sebagai simbol bahwa polisi tidak boleh asal tangkap terduga pelaku dalam setiap menangani perkara.
Lima ekor ayam potong tersebut, imbuh Dwi Ngai, dialamatkan kepada Kapolres Taput, Kasat Reskrim, KBO Satreskrim, kanit, dan penyidik yang menangani perkara tersebut.
"Hal itu menandakan ayam aja kita gak boleh asal-asal tangkap. Apalagi menangkap ayam milik orang," ujar Dwi Ngai.
Pihaknya menegaskan bahwa Polres Taput jangan seperti ayam potong dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai aparat hukum dan pengayom masyarakat.