Realitasonline.id - KOTA BINJAI | Pernyataan Ketua DPRD Kota Binjai yang menyebut anggaran pengamanan pimpinan senilai Rp 600 juta telah dikembalikan ke sekretariat dan dianggap selesai, menuai bantahan keras dari kalangan praktisi hukum.
Praktisi hukum sekaligus aktivis masyarakat sipil, Arif Budiman Simatupang SH menilai pernyataan tersebut menyesatkan pemahaman publik dan berpotensi mengaburkan prinsip dasar pengelolaan keuangan daerah.
“Dalam hukum anggaran, tidak ada istilah dikembalikan begitu saja. APBD itu produk hukum daerah, bukan dompet pribadi yang bisa dibuka tutup lewat pernyataan media,” tegas Arif, Kamis (4/12/2025).
Baca Juga: Mengulik Perbandingan Mitsubishi Xpander Ultimate vs Exceed (Tourer), Begini Fitur Mesinnya
Arif menjelaskan selama anggaran tersebut masih tercantum dalam dokumen RAPBD atau struktur APBD, maka secara hukum anggaran itu masih hidup, terlepas dari ada atau tidaknya pernyataan politis pimpinan DPRD.
“Kalau mau dihapus, mekanismenya jelas, dibahas di Banggar, disepakati DPRD, diputuskan di Paripurna, lalu dituangkan dalam Perda APBD. Tanpa itu semua, anggaran tidak pernah benar-benar hilang,” ujarnya.
Menurutnya, klaim bahwa anggaran pengamanan pimpinan DPRD sudah tidak ada lagi harus dibuktikan secara dokumen, bukan sekadar narasi.
Baca Juga: Apa Itu IDRX? Stablecoin Rupiah yang Bikin Transaksi Kripto Makin Mudah
Lebih jauh, Arif mengingatkan bahwa penyederhanaan persoalan anggaran kepada publik justru berbahaya, karena:
• mengaburkan akuntabilitas DPRD sebagai lembaga pengawas anggaran;
• membuka ruang manipulasi kebijakan di tahap akhir pembahasan;
• dan berpotensi menghindari pertanggungjawaban etik.
“Kalau publik dibuat percaya bahwa semua selesai hanya karena ketua DPRD bilang selesai, itu bukan transparansi, tapi penyesatan. Negara ini diatur oleh prosedur, bukan kehendak jabatan,” katanya.
Arif menegaskan sekalipun nantinya anggaran tersebut secara formal dihapus, substansi persoalan tidak otomatis selesai, terutama terkait dugaan intimidasi dalam proses pembahasan anggaran.
“Isu hukumnya bukan hanya soal anggaran jadi atau tidak. Yang lebih serius adalah dugaan penggunaan kewenangan pimpinan untuk menekan sikap kritis anggota DPRD. Itu wilayah etik dan integritas lembaga,” jelasnya.