“Ketika guru menjadi pelaku, penghianatan moralnya jauh lebih besar. Penegak hukum seharusnya membaca itu sebagai faktor pemberat, bukan malah menghasilkan putusan yang hanya sekadar memenuhi formalitas hukuman dengan angka minimum,” katanya.
Andi mengingatkan Indonesia telah mengadopsi prinsip the best interest of the child atau kepentingan terbaik bagi anak melalui Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi dengan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, serta Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
“Prinsip kepentingan terbaik anak tidak boleh berhenti di seminar dan spanduk. Prinsip itu harus hidup dalam setiap putusan. Dalam kasus ini, ia mati,” kritiknya.
Atas putusan tersebut, Andi menyatakan akan mempertimbangkan langkah lanjutan, termasuk melaporkan perkara ini ke Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. Langkah itu diambil demi memastikan proses hukum berjalan sesuai asas keadilan, terutama bagi korban kekerasan seksual.
“Trauma anak tidak punya tanggal kedaluwarsa. Tetapi hukuman yang dijatuhkan terasa seperti negara sedang memberi maaf murah kepada pelaku,” pungkasnya.(zul)