Oleh: Siti Zahara Nasution SKp MNS dan Martha Lena Susanti Br Siahaan SKep Ners (Program Studi Magister Ilmu Keperawatan USU)
Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai (WHO, 2020).
Faktor penyebab stunting dapat dikelompokan menjadi penyebab langsung dan tidak langsung.
Praktik pemberian kolostrum dan ASI eksklusif, pola konsumsi anak, dan penyakit infeksi yang diderita anak menjadi faktor penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi anak dan bisa berdampak pada stunting.
Sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah akses dan ketersediaan bahan makanan serta sanitasi dan kesehatan lingkungan (Rosha et al., 2020).
Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan oleh WHO, pada tahun 2020 sebanyak 22% atau sekitar 149,2 juta balita di dunia
mengalami kejadian stunting (World Health Organization, 2021).
Dimana Stunting dialami oleh 8,9 juta anak Indonesia. Sebanyak 1/3 anak balita Indonesia tingginya kurang dari rata-rata normal.
Sekitar 30,8% anak balita di Indonesia mengalami stunting. Anak usia >12 bulan lebih banyak mengalami stunting dibandingkan anak usia <12 bulan (Satriawan, 2018).
Hal ini disebabkan karena semakin tinggi usia anak maka akan semakin meningkat kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk pembakaran energi dalam tubuh.
Berdasarkan hasil SSGI tahun 2021 angka stunting secara nasional mengalami penurunan sebesar 1,6% per tahun dari 27.7% tahun 2019 menjadi 24,4%, tahun 2021 hampir sebagian besar provinsi menunjukan penurunan dibandingkan tahun 2019 (Asmin,S.W. 2022).
Baca Juga: Berkah Ikut UMKM EXPO(RT) BRILIANPRENEUR 2023, Vinto Craft Peroleh Kontrak Ekspor 3000 Unit ke Qatar
Penyebab paling utama adalah kekurangan gizi kronis pada awal 1.000 hari pertama kehidupan yaitu sejak awal kehamilan (konsepsi) hingga anak berusia dua tahun.
Kekurangan gizi dapat berupa kurangnya jumlah asupan makanan, atau kualitas makanan yang kurang baik, seperti kurangnya variasi makanan.
Penyakit infeksi dapat menurunkan penyerapan zat gizi dari usus, kehilangan zat gizi secara langsung (misalnya pada diare), dan peningkatan kebutuhan zat gizi untuk pemulihan sehingga zat gizi tidak dimanfaatkan untuk pertumbuhan.