Langkah H. Ramlan ini secara tak langsung telah mengirimkan pesan kuat kepada jajaran Kantor Kementerian Agama dan seluruh instansi publik di Kota Medan. Bahwa solusi kreatif dan dedikasi tinggi harus selalu hadir di tengah krisis. Bahwa kelangkaan energi tidak boleh membuat pelayanan publik ikut lesu.
Kisah inspiratif ini pun menyebar dengan cepat di kalangan internal KUA dan Penyuluh Agama Islam. Banyak Penghulu lain yang mulai mempertimbangkan penggunaan kendaraan alternatif, seperti sepeda atau transportasi umum, sebagai standar operasional saat kondisi darurat. Semangat Ramlan menjadi pengingat bahwa tugas pelayanan publik adalah panggilan jiwa yang menuntut pengorbanan.
Pada akhirnya, akad nikah Dicky dan Mia menjadi lebih dari sekadar pencatatan sipil. Ia menjadi monumen pengabdian H. Ramlan, yang memilih berpacu dengan waktu menggunakan sepedanya. Ia adalah bukti bahwa komitmen pelayanan yang tulus akan selalu menemukan jalannya, bahkan di tengah kesulitan logistik yang paling ekstrem.
Pengorbanan kecil Ka KUA Medan Perjuangan hari itu telah memberikan pelajaran besar: Pelayanan prima bukan tentang kenyamanan petugas, tetapi tentang terpenuhinya hak dan kebahagiaan masyarakat.(IW)