Oleh : Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp., MNS & Asril Jonbriko Tanjung, S.Kep., Ns (Program Studi Magister Ilmu Keperawatan F.Kep. USU)
Realitasonline.id - Di ruang operasi, waktu tidak sekadar berjalan, ia menegang, menipis, dan kemudian menghilang dalam ritme yang nyaris tak terdengar. Di sana,
ketika lampu operasi menyala dan monitor berbunyi ritmis, ada satu sosok yang sering terlupakan dalam narasi heroik dunia medis: perawat bedah. Mereka bekerja dalam lanskap yang sunyi, hampir tanpa kata, namun justru di situlah etika bekerja paling keras.
Kesunyian ruang operasi bukan sekadar suasana. Ia adalah ruang moral, tempat keputusan-keputusan kecil menentukan keselamatan pasien. Dalam kesunyian inilah, perawat bedah memikul tanggung jawab yang jauh lebih luas dibanding apa yang tampak di permukaan. Mereka bukan hanya tangan yang memberikan instrumen,
bukan hanya individu yang memastikan sterilitas. Mereka adalah penjaga etis
yang menjaga agar seluruh prosedur berjalan sesuai standar, tanpa celah, tanpa kompromi.
Baca Juga: KENALI GEJALA AWAL PENYAKIT JANTUNG KORONER SEBELUM TERLAMBAT
Namun, tanggung jawab itu sering kali tidak terlihat. Etika perawat bedah hadir bukan dalam bentuk pidato, melainkan dalam ketelitian memeriksa instrumen, kepekaan membaca situasi, dan keberanian untuk bersuara ketika ada potensi bahaya. Di dunia yang hening itu, keberanian berbicara justru menjadi tindakan moral tertinggi.
Dalam banyak kasus, perawat bedah adalah orang pertama yang menyadari jika ada prosedur yang terlewat, alat yang tidak lengkap, atau sterilisasi yang kurang sempurna.
Mereka juga yang memeriksa ulang identitas pasien, sisi tubuh yang akan dibedah, hingga kemungkinan reaksi alergi. Tidak ada sorotan kamera, tidak ada tepuk tangan. Tetapi satu kesalahan kecil dapat berakibat fatal. Sementara itu, satu tindakan preventif yang tepat dapat menyelamatkan nyawa tanpa
pernah diketahui publik.
Lebih jauh lagi, perawat bedah sering dihadapkan pada dilema etis yang jarang dibahas. Bagaimana jika senior menginstruksikan sesuatu yang bertentangan dengan SOP? Bagaimana jika dokter bedah terlihat kelelahan tapi operasi harus dilanjutkan? Bagaimana jika kondisi pasien tiba-tiba berubah sementara keputusan tim terlambat? Di titik-titik genting itulah etika tidak lagi sekadar teori, tetapi keberanian moral yang hidup.
Kesunyian ruang operasi mengajari satu hal: bahwa etika bukan hanya tentang aturan, melainkan tentang kejujuran profesional. Tentang kesiapsiagaan. Tentang kemampuan mengatakan “ada yang tidak beres” bahkan ketika status sosial dalam
hierarki medis membuat suara perawat terasa kecil. Tetapi suara itu harus tetap
keluar, karena keselamatan pasien terlalu mahal untuk digadaikan pada
rasa sungkan.
Baca Juga: Golkar Dairi Salurkan Bantuan kepada Korban Bencana Banjir dan longsor Taput.
Editorial ini mengajak publik dan pemangku kebijakan untuk melihat perawat bedah bukan hanya sebagai pelengkap sistem pembedahan, tetapi sebagai penjaga moral yang perannya sangat krusial. Etika mereka bukan hanya pedoman perilaku, tetapi fondasi yang membuat ruang operasi tetap menjadi tempat yang aman.
Di tengah berbagai dinamika dunia kesehatan, keterbatasan tenaga, tekanan kerja yang tinggi, dan kompleksitas kasus perawat bedah memegang lilin kecil dalam ruang yang temaram: lilin integritas. Lilin itu harus terus dijaga, karena darinyalah setiap tindakan pembedahan menemukan makna terdalamnya: menjaga kehidupan manusia dengan hormat dan kehati-hatian.