Oleh : Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp., MNS & Yuliani Krisna Lubis, S.Kep., Ns
(Program Studi Magister Ilmu Keperawatan F.Kep. USU)
Realitasonline.id - Ketika dunia kesehatan memasuki era baru penuh tantangan—mulai dari pandemi global, lonjakan penyakit tidak menular, krisis tenaga kesehatan,
hingga penetrasi kecerdasan buatan dan robot medis—pertanyaan mendesak muncul: “siapa sebenarnya yang memegang peran paling penting dalam keberlangsungan pelayanan kesehatan suatu bangsa?”
Jawabannya semakin jelas: perawat. Mereka bukan lagi pelengkap sistem kesehatan, tetapi penentu arah dan masa depan kesehatan masyarakat.
Selama bertahun-tahun, profesi perawat kerap ditempatkan sebagai tokoh pendamping dalam struktur medis. Persepsi keliru itu muncul karena sebagian masyarakat hanya melihat tindakan teknis yang dilakukan perawat: menyuntik, memantau infus, memeriksa tanda vital, atau menjalankan instruksi dokter. Padahal, jika ditinjau dari filsafat ilmu, keperawatan memiliki tubuh pengetahuan, teori, model, dan pendekatan keilmuan sendiri yang tidak dimiliki profesi kesehatan
lainnya.
Baca Juga: Pemberdayaan Masyarakat: Kunci Kemandirian Kesehatan dalam Perspektif Keperawatan Orem
Keperawatan adalah ilmu mandiri yang mempelajari manusia secara utuh—badan, pikiran, jiwa, nilai, dan makna hidup.
Dalam perspektif ontologis, keperawatan memandang manusia bukan sekadar objek biologis, tetapi sebagai makhluk holistik dengan dimensi psikologis, sosial, spiritual,
dan budaya.
Dalam dimensi epistemology, keperawatan mengembangkan pengetahuan melalui riset ilmiah, inovasi praktik berbasis bukti (evidence based practice), dan teori
keperawatan global seperti Jean Watson, Dorothea Orem, Callista Roy, hingga Peplau.
Sementara dari aksiologinya, keperawatan menempatkan etika kemanusiaan sebagai dasar tindakan, karena merawat berarti mempertahankan martabat manusia di tengah sakit, ketakutan, dan ketidakpastian.
Tidak ada profesi lain dalam dunia kesehatan yang berada 24 jam di sisi pasien—menyaksikan perjuangan manusia antara hidup dan mati, menyaksikan air mata
keluarga, sekaligus menjadi saksi pertama kesembuhan yang penuh harapan.
Tindakan sederhana seperti memegang tangan pasien, memberi edukasi kesehatan, atau mendengarkan keluhan bukanlah aktivitas biasa—semua itu memiliki kekuatan penyembuhan yang berakar pada teori caring, nilai filosofis, dan bukti ilmiah.
Di era digital, ketika teknologi menguasai ruang perawatan, muncul pertanyaan tajam: Dapatkah robot menggantikan kehadiran perawat? Mesin mungkin mampu menghitung dosis obat dengan presisi, tetapi tidak ada algoritma yang mampu
menggantikan empati, kehangatan sentuhan, dan kemampuan memahami makna penderitaan manusia. Inilah nilai eksistensial keperawatan yang tidak dapat diganti
oleh kecerdasan buatan.