Selanjutnya, keterlambatan penetapan pejabat pengelola keuangan dan pejabat pengadaan barang/jasa. Kemudian penagihan (biaya) kegiatan pada akhir tahun anggaran, tidak per termin sesuai kemajuan.
"Ini ada informasi, bahwa pelaksana pekerjaan takut jika penagihan dilakukan per termin, maka akan ada biaya 'lain' yang harus mereka keluarkan," ungkapnya.
Selain itu, kurangnya monitoring dan evaluasi dari pimpinan daerah atau pimpinan OPD, serta satuan kerja. Serta keterlambatan penyelesaian administrasi dan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan hingga kendala lainnya.
Untuk itu, pihaknya mendorong agar pemerintah daerah memperbaiki kinerja dengan bercermin pada realisasi belanja APBD pada 2022, dimana Sumut mencapai 92,89% (anggaran Rp13,39 Triliun : realisasi Rp12,44 Triliun). Namun untuk peringkat, provinsi ini berada di 10 besar dari 34 provinsi se-Indonesia dalam hal realisasi. (AY)