Medan - Realitasonline.id | Warga Muhammadiyah Cabang Tanjung Sari melaksanakan shalat Gerhana Matahari Hibrida, di penghujung bulan Ramadhan tepatnya Kamis (20/4/2023) pada puncak gerhana pukul 10.45 wib, di Masjid Taqwa Muhammadiyah Tanjungsari Medan, dengan imam dan khutbah Dr Maulana Siregar dari PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Kota Medan.
Maulana menyebutkan, shalat Gerhana Matahari merupakan shalat sunah dilaksanakan dua rakaat, tapi pelaksanaannya berbeda dengan shalat sunah lainnya. Ketika jamaah sudah berkumpul dan Gerhana mulai terjadi, maka diserukan shalat dengan membaca "As-Shalâtu jâmi'ah".
Baca Juga: Wanita Haid Dianjurkan Keluar Saat Idul Fitri? Berikut Penjelasan Ustaz Abdul Somad
Kemudian dilanjutkan Takbiratul ihram bersama niat dalam hati. Setelah itu membaca doa iftitah, membaca surat Al-Fatihah dan surat panjang. Selanjutnya Ruku' (lebih lama dengan bacaan ruku 3 kali), Bangun dari ruku' (itidal), kembali membaca surat Al-Fatihah dan surat panjang tapi lebih pendek dari surat pertama. Kemudian Ruku' yang ke 2 (baca an tiga kali), Kemudian bangun dari ruku' (itidal), selanjutnya Sujud, lalu duduk diantara dua sujud dan sujud kembali.
Selanjutnya rakat kedua, setelah sujud kembali berdiri untuk rakaat yang ke dua dilakukan seperti rakaat pertama. Membaca surat al-Fatihah dan dan surat lain, Ruku, Bangun dari ruku' kembali membaca surat fatihah lagi dan surat lain, Ruku' lagi, Bangun dari ruku' (i'tidal), Sujud, lalu duduk diantara dua sujud dan sujud kembali, Tasyahud akhir, Kemudian Salam.
Maulana menyebutkan, di masa Rasulullah tersebar bahwa terjadinya Gerhana dikarenakan wafatnya putra Rasulullah bernama Ibrahim, hal itu dibantah Nabi Muhammad SAW dan keluarlah hadist bahwa pelaksanaan shalat Gerhana Matahari pada saat terjadinya gerhana. Hal ini berdasarkan beberapa hadis antara lain, beberapa hadis antara lain,
عَنِ الْمُغِيرَةِ بنِ شُعْبَةَ قال انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يوم مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فقال الناس انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إبراهيم فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ من آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ولا لِحَيَاتِهِ فإذا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حتى يَنْجَلِيَ [رواه البخاري
Artinya: Dari al-Mughirah Ibn Syu'bah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan shalat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari]
Disebutkannya juga, terjadinya Gerhana Matahari merupakan fenomena alam, bukan karena putra Rasulullah wafat. Hal itu sudah dijelaskan dalam hadis dan pada saat terjadinya gerhana dianjurkan agar perbanyak doa, sholat gerhana dan bersedekah. Bahkan, manusia lupa bahwa fenomena alam yang disaksikan itu tujuannya diciptakan hanya untuk mengingatkan agar lebih dekat kepada Allah SWT.
Baca Juga: Lebaran Tinggal Menghitung Hari, Kapan Jadwal Sidang Isbat?
Dikutip Realitasonline.id dari kanal YouTube Adi Hidayat Official, UAH, Ustaz Adi Hidayat yang kerap disapa UAH ikut angkat bicara mengenai Gerhana Matahari Hibrida yang terjadi pada akhir Ramadan atau tepatnya menjelang Idulfitri 1444 Hijriah. "Jadi ketika gerhana dihadirkan, bukan sekedar ingin menunjukkan fenomena alam yang bisa diabadikan. Tapi fenomena alam tersebut untuk dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT," terang Ustaz Adi Hidayat.
Ketika dihadirkan gerhana kepada manusia, lanjut UAH, Allah SWT ingin melihat hambanya apakah dengan terjadinya fenomena alam yang ditunjukkan, akan lebih mendekatkan diri kepadanya. "Allah SWT ingin melihat ketika terjadinya gerhana, apakah hambanya langsung teringat kepadanya. Atau malah sebaliknya," tambahnya.