Realitasonline.id| MEDAN - Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan PDIP masih mencermati nama-nama tokoh yang diusulkan untuk diusung sebagai calon gubernur di Pilkada 2024 serentak.
Terkait nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk diusung di Pilgub 2024 Sumatera Utara, belum ada keterangan resmi dari Hasto.
Namun, politisi PDIP Sumut Sutrisno Pangaribuan mengatakan ada kelompok yang memang tidak menginginkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu ikut Pilgub 2024 Sumatera Utara.
Kelompok elit partai politik (Parpol), Ormas, kelompok mafia dan preman dituding Sutrisno Pangaribuan sebagai kelompok yang selama ini mendapat keuntungan pribadi dan kelompok atas buruknya tata kelola pemerintah daerah.
Isu putra daerah pun dihembuskan agar publik menolak Ahok ikut Pilgubsu, kata Sutrisno Pangaribuan, Rabu (8/5/2024).
Menurut Sutrisno, para elit membayangkan seperti anak kecil seperti saat Ahok menuliskan “pemahaman nenek lu” di pembahasan APBD DKI Jakarta.
Pengalaman elit di DKI Jakarta tidak ingin dialami para elit di Sumut.
Baca Juga: Tingkatkan Jumlah Pemilih, KPU Serdang Bedagai Sosialisasikan Tahapan Pilkada 2024
Para ketua akan kehilangan harga diri dan pengaruh jika berhadapan dengan Ahok. APBD tidak lagi dapat dikelola seperti selama ini, sehingga peluang bermain sangat kecil. Makanya mereka menolak Ahok untuk membangun Sumatera Utara, kata dia.
Sejak Pilkada langsung di Sumatera Utara tahun 2008, hanya Syamsul Arifin (Gubsu 2008-2013) yang lahir di Medan (25/9/1952).
Sedang Gatot Pujo Nugroho (Gubsu 2013-2018) lahir di Mertoyudan Magelang Jawa Tengah (11/6/1962).
Kemudian Edy Rahmayadi (Gubsu 2018-2023), lahir di Sabang Aceh (10/3/1961). Maka isu putra daerah tidak relevan kepada Ahok yang lahir di Manggar Belitung (29/6/1966).
Isu putra daerah dihembuskan kembali oleh elit politik karena takut kalah bersaing dengan Ahok. Sosok Ahok dianggap mengganggu skenario politik yang telah dirancang dan disusun, sebutnya.
Padahal Ahok sama sekali belum melakukan aksi atau deklarasi diri. Nama Ahok yang oleh elit partai disebut wacana seorang kader, ternyata cukup mengusik eksistensi elit, jelas Sutrisno.