Saat pasien datang, perawat tidak hanya mengevaluasi kondisi fisik (tanda vital, rasa sakit, efek kemoterapi), tetapi juga melakukan dialog aktif: dengan menanyakan bagaimana perasaan pasien, ketakutan, harapan, kebutuhan sosial dan spiritual. Melakukan komunikasi yang empatik, memberikan ruang bagi pasien untuk berbagi dan bereksplorasi mengenai perasaannya. Mengombinasikan tindakan medis (misalnya manajemen nyeri, mual) dengan dukungan psikososial, konseling spiritual, dukungan keluarga. Hal ini penting terutama pada pasien usia lanjut paliatif. Menyusun rencana keperawatan berdasarkan karakteristik unik pasien, latar belakang budaya, preferensi, nilai, dukungan keluarga, kondisi social bukan pendekatan "yang sama antara satu pasien dengan pasien yang lain." Membantu pasien menghadapi isu eksistensial: apa arti hidup, harapan hidup setelah pengobatan, kualitas hidup, tujuan hidup, bukan semata pengobatan penyakit.
Mengadopsi ontologi dalam keperawatan onkologi berarti memperlakukan pasien kanker sebagai manusia seutuhnya dengan tubuh, jiwa, rasa, harapan, ketakutan, dan makna hidup. Ini menjadikan keperawatan bukan sekadar teknik, tetapi profesi kemanusiaan yang peduli, empatik, dan menghormati keberadaan. Penerapan filosofi ilmu terutama ontologi bukan wacana akademis kosong. tetapi fondasi untuk pelayanan keperawatan yang lebih baik, holistik, dan bermartabat bagi pasien kanker.