realitasonline.id - Pada pedagangan Jumat (30/8/2024) harga minyak mentah anjlok sekitar 2% dipicu investor mempertimbangkan ekspektasi kenaikan pasokan OPEC+ mulai Oktober.
Penurunan ini bersamaan dengan berkurangnya harapan pemangkasan suku bunga AS yang besar bulan depan, menyusul data yang menunjukkan belanja konsumen yang kuat.
Melansir dari Reuters, harga minyak mentah Brent berjangka untuk pengiriman Oktober, yang berakhir pada hari Jumat, turun US$ 1,16, atau 1,5% ke level US$ 78,78 per barel pada pukul 1:37 p.m. EDT (1737 GMT). Dalam sepekan, harga minyak jenis ini turun 0,3% dan 2,4% dalam sebulan.
Baca Juga: Harga Minyak mentah Naik Lebih dari US$ 1 Per Barel Terkerek Gangguan Pasokan di Libya
Di sisi lain, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS turun US$ 2,20, atau 2,9%, menjadi US$ 73,71, dan diperkirakan turun 1,5% dalam sepekan dan turun 3,4% pada bulan Agustus.
Namun, organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, akan melanjutkan rencana kenaikan produksi minyak mulai Oktober.
Dikarena penghentian produksi di Libya dan janji pemotongan oleh beberapa anggota untuk mengimbangi kelebihan produksi yang mengimbangi dampak dari permintaan yang lesu, menurut enam sumber OPEC+ kepada Reuters.
"OPEC+ berbicara tentang melanjutkan pengurangan produksi adalah berita utama yang benar-benar membuat kita kecewa hari ini," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group.
Selain itu, investor menanggapi data baru yang menunjukkan belanja konsumen AS meningkat pesat pada bulan Juli, yang menunjukkan ekonomi tetap kokoh di awal kuartal ketiga dan menentang pemotongan suku bunga 0,5% dari Federal Reserve bulan depan.
Dengan suku bunga yang lebih rendah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak.
"Peningkatan inflasi yang moderat itu pada dasarnya dapat memperkuat bahwa kita hanya akan mendapatkan pemangkasan 0,25% dan mereka yang mengharapkan setengahnya harus menunggu," kata Flynn dari Price Futures Group.
Di tempat lain, National Oil Corporation Libya mengatakan bahwa penutupan ladang minyak baru-baru ini telah menyebabkan hilangnya sekitar 63% dari total produksi minyak negara itu, karena konflik antara faksi timur dan barat yang bersaing terus berlanjut.
Kerugian produksi dapat mencapai antara 900.000 dan 1 juta barel per hari (bph) dan berlangsung selama beberapa minggu, menurut perusahaan konsultan Rapidan Energy Group.
Pemerintah Libya yang berpusat di wilayah timur mengumumkan penutupan semua ladang minyak pada hari Senin, menghentikan produksi dan ekspor, serta mendorong harga minyak mencapai titik tertinggi dalam hampir dua minggu pada tanggal 26 Agustus.