Mahfud juga menyoroti posisi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam polemik ijazah Presiden Jokowi.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menegaskan bahwa peran UGM seharusnya hanya terbatas pada konfirmasi administratif, yakni memastikan bahwa universitas memang pernah menerbitkan ijazah resmi bagi nama yang bersangkutan.
"UGM cukup menjelaskan, pada tahun (1985) telah mengeluarkan ijazah resmi kepada orang bernama Joko Widodo, titik,” kata Mahfud.
Baca Juga: Polisi Pastikan Proses Hukum ABH Kasus Ledakan SMAN 72 Berpedoman pada UU Perlindungan Anak
“Tidak usah menjelaskan apakah yang sekarang diributkan di luar itu asli atau tidak, UGM gak usah ikut-ikut," sambungnya.
Menurut Mahfud, langkah UGM untuk tidak terlibat dalam perdebatan publik soal keaslian dokumen merupakan sikap yang tepat secara hukum dan etika kelembagaan.
Ia menilai persoalan yang sudah masuk ranah hukum seharusnya diserahkan kepada mekanisme peradilan, bukan diselesaikan melalui opini publik.
Seruan untuk Menegakkan Prosedur Hukum yang Adil
Baca Juga: Pentingnya Self Policing dalam Keluarga, Tumbuhkan Rasa Aman dan Pengawasan di Sektor Privat
Dalam penjelasannya, Mahfud MD menegaskan pentingnya penegakan hukum yang proporsional dan berkeadilan.
Mantan Menko Polhukam itu menilai aparat penegak hukum perlu berhati-hati agar tidak mendahului proses pembuktian substansial dengan penetapan pidana terhadap pihak yang masih memiliki hak untuk menyampaikan pendapat.
Dengan demikian, menurut Mahfud, pembuktian keaslian ijazah menjadi kunci utama sebelum kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Roy Suryo dapat dinilai secara hukum.(AY)