nusantara

Perang Santet Dengan Parang Maya di Tanah Dayak Paling Dahsyat dan Sangat Mematikan (Bagian. 1)

Senin, 15 Juli 2024 | 19:03 WIB
Perang Santet Dengan Parang Maya di Tanah Dayak Paling Dahsyat dan Sangat Mematikan (Bagian. 1)

realitasonline.id - Parang Maya ini seperti santet kalau dalam Jawa, istilah ini ada di tanah Kalimantan.

Biasanya ilmu ini digunakan tujuannya untuk menyakiti orang lain, biasanya luka seperti tebasan pisau itu nggak kelihatan, karena ada di dalam tubuh.

Kata 'parang' artinya adalah senjata tajam dan 'maya' adalah sesuatu hal yang tidak terlihat.

"Belom Bahadat", dua kata yang merupakan ungkapan orang Dayak untuk selalu menjaga sikap dan perilaku di tanah Kalimantan. Tanah keramat yang kental akan adat istiadat, hutan belantara, sungai besar, binatang buas, serta hal-hal mistis di luar nalar.

Ungkapan itu pula yang membuat orang tuaku berhasil bertahan sejak memutuskan meninggalkan tanah kelahiran di pulau Jawa, untuk memperbaiki nasib dengan menjadi transmigran di Kalimantan pada awal 80an.

"Prapto, ne wis ra betah, mulih wae. Dadio buruh atawa tukang becak yo ora opo-opo. Mangan ra mangan sing penting kumpul," ucap pakde pada bapak, sewaktu kami pulang kampung setelah lima tahun tidak ada kabar.

Namun, bapak hanya tersenyum. Kata bapak, selama di perantauan kehidupan kami baik-baik saja. Tidak ada hal-hal buruk seperti yang dikhawatirkan orang-orang di kampung halaman.

"Sing penting belom bahadat, mas. Jaga sikap dan perilaku, Insha Allah kita akan baik-baik saja dimanapun berada," kata bapak.

Apa yang disampaikan bapak tidak sepenuhnya salah. Memang, sejak SD di Kalampangan hingga menamatkan pendidikan keguruan di Palangkaraya, tidak ada permasalahan berarti yang kami hadapi.

Hingga kemudian aku menjadi guru sebuah SD di pedalaman, tepatnya di hulu sungai Barito. Di sinilah pertama kali aku bersentuhan dengan betapa mistisnya tanah Kalimantan, sebuah peristiwa mengerikan yang berhubungan dengan dunia arwah. Tidak hanya menyaksikan, tapi kualami sendiri hingga membuatku dihantui ketakutan dan trauma sampai detik ini.

Tragedi ini kualami pada awal tahun 2000an, tepat dua tahun lebih sedikit ketika aku menjadi pengajar muda di desa Petak Gantung. Sebuah desa yang berada di daerah perbukitan dan dikelilingi hutan rimba.

Semua bermula pada suatu sore, saat
aku sedang bermain volly dengan para pemuda desa. Seorang bocah kecil berumur sekitar 10 tahun, terlihat berlari di atas rerumputan halaman sekolah lalu menerobos kerumunan penonton yang riuh.

Dengan menenteng es teh dalam wadah plastik gula dan nafas terengah, bocah itu segera berteriak dari pinggir lapangan.

"Pak...! Pak Kasno...!"

Berulang-ulang bocah itu berteriak tapi suaranya kalah dengan keributan penonton yang tegang. Setelah beberapa saat, baru kudari kalau ia memanggil namaku.

Halaman:

Tags

Terkini

ATR/BPN Permudah Masyarakat Cek PPAT Digital

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:17 WIB