Realitasonline.id - Pesantren tertua di Sumatera Utara, Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Kabupayen Mandailing Natal, adalah start awal pendidikan Bang Marahalim, begitu panggilan akrab Ketua PWNU Sumut Dr. H. Marahalim Harahap, M.Hum, yang dilahirkan di S.Aling, Tapsel, 14 Mei 1972.
Mustafawiyah merupakan pesantren dengan sistem yang sangat mandiri dan berpondokkan gubuk-gubuk kecil menuntut para santrinya tak sebatas menjadi ahli dalam agama, namun mampu menyikapi kehidupannya yang keras secara nyata.
Pesantren Mustafawiyah telah berkembang pesat dengan muridnya ribuan. Pesantren Musthafawiyah pun masyhur dengan sebutan Pesantren Purba, hal ini mengingat lokasinya yang berada di Purba Baru.
Baca Juga: Dalam 2 Minggu Polres Pelabuhan Belawan Tetapkan 27 Tersangka Kasus Narkoba, ini Kasus Lainnya
Di samping itu, Pesantren tersebut dikenal dengan cirinya yang sangat khas dan unik, yakni santri diminta untuk mendirikan kamarnya sendiri berupa pondok atau gubuk kecil dengan jumlah ratusan. Gubuk-gubuk itu kini menjadi suatu keindahan yang menghiasi pandangan mata saat melintas di jalan lintas sepanjang jalan depan pesantren. Tampilan gubuk yang bahkan membuat para kyai dari Jawa terkejut melihat estetik gubuk yang menjadi tempat tinggal para santri pesantren.
Namun layaknya kehidupan di Pesantren dengan lingkup yang tertutup, senioritas, dan model pembelajaran tradisional hadir dari beraneka ragam budaya dan kultur. Kondisi ini menempa kepribadian santri bernama Marahalim.
Menurut Bang Marahalim, barokah nyantri di Pesantren ini sungguh luar biasa, sama halnya dengan apa yang dinyatakan oleh para ‘ndrek’ kyai bahwa di Nahdlatul Ulama itu penuh dengan barokah. Kehidupan pesantren yang penuh barokah ini menjadi hal penting untuk dijadikan pegangan para santri.
Sering kali kita mendengar, setinggi apapun ilmu yang didapatkan jika tidak mendapatkan barokah Kiainya, maka ilmu yang didapat akan sia-sia.
Dalam hal ini barokah para Kiai yang biasa dipanggil “Ayah” di Mustafawiyah itu beliau dapat kembali ke jalan yang diridhai Allah dengan menjauhkan diri dari ilmu “kedigdayaan” dan menjaga akhlak yang mulia sebagai santri dari salah satu pesantren terbaik di Indonesia.
Sebaimana hal tersebut senada dengan tujuan dari Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru yakni mencetak ulama yang ber-akhlakul karimah berdasarkan ahlus sunnah wal jamāah yang bermazhab Syafi’i.
Baca Juga: Pj Gubernur Sumut Rapat Mendadak Bahas Kesiapan Aceh dan Sumatera Utara Tuan Rumah PON XXI 2024Baca Juga: Pj Gubernur Sumut Rapat Mendadak Bahas Kesiapan Aceh dan Sumatera Utara Tuan Rumah PON XXI 2024
Sementara itu, dengan memperhatikan dari visi dan misi Pondok Pesantren Musthafawiyah maka para alumni dituntut untuk terampil pada urusan Agama dan sebagai panutan di tengah masyarakat, lantas pada saat merantau ke Kota Medan, sembari melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sarjana, Maharalim sehari-hari tinggal di masjid sebagai marbot.
Berbekal kuliah di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan pada hakikatnya menjadi tantangan nyata baginya, di mana beliau tidak memiliki skill yang begitu banyak untuk lebih kuat hidup di tengah masyarakat kota Medan yang identik dengan kekerasan dan premanisme, melainkan hanya menjadi seorang ustadz yang tinggal menumpang di masjid serta melakukan kegiatan mengajar ngaji sebagai upaya penambah amunisi kehidupan keseharian beliau.