Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun peradaban suatu bangsa. Oleh karena itu, alokasi anggaran untuk sektor ini selalu menjadi sorotan. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, meskipun alokasi ini sudah cukup besar, masalah dalam penganggaran pendidikan tetap menjadi tantangan.
Masalah utama dalam penganggaran pendidikan terletak pada transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran. Penyaluran dana pendidikan sering kali tidak jelas alur distribusinya. Akibatnya, anggaran yang diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan kerap tersendat, terutama di daerah terpencil yang sangat membutuhkan bantuan.
Tidak sedikit sekolah di daerah tertinggal masih kekurangan infrastruktur dasar, sementara laporan menunjukkan adanya pembangunan fasilitas yang tidak sesuai prioritas di wilayah lain.
Baca Juga: Opini Firdaus: Refleksi SMSI Akhir Tahun 2024, Pilar Indonesia Emas 2045
Ketidakefisienan dalam penggunaan anggaran juga menjadi perhatian. Sebagian besar dana digunakan untuk belanja administratif atau proyek yang kurang berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini terlihat dari minimnya alokasi untuk pelatihan guru atau pengadaan sarana pembelajaran. Padahal, kualitas pendidikan sangat bergantung pada kompetensi guru dan fasilitas yang mendukung proses belajar mengajar.
Selain itu, akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan masih lemah. Kasus penyalahgunaan dana pendidikan terus bermunculan, mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam banyak kasus, dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan siswa malah diselewengkan. Kondisi ini semakin parah dengan minimnya pengawasan terhadap penggunaan anggaran, terutama di tingkat daerah.
Kesenjangan distribusi anggaran antar wilayah juga menjadi masalah serius. Daerah-daerah maju sering kali mendapatkan porsi anggaran yang lebih besar dibandingkan daerah tertinggal, meskipun tantangan di wilayah tertinggal jauh lebih kompleks. Ketimpangan ini berakibat pada semakin lebarnya jurang perbedaan kualitas pendidikan antara kota besar dan daerah terpencil.