Catatan Senin-Kamis; Sekolah Lagi

photo author
- Senin, 7 Juni 2021 | 11:22 WIB
MUHAMMAD SYAHRIR
MUHAMMAD SYAHRIR

HORE….. sekolah lagi. Semua anak-anak senang, termasuk anakku yang paling kecil pun mulai senyam-senyum. “Mantap, Pa. Berarti dapat jajan lagi. Bosan tiap hari dirumah, enggak boleh kemana-mana,” katanya.  Sebagai orangtua, yang diotak mereka kita musti tau. Ternyata mereka rindu suasana. Beberapa kali kami jalan sama, Sengaja kulewati sekolahnya. Tiba-tiba refleknya datang. “Putar, Pa. Nengok sekolah. Itu gerbangnya bukak,” katanya. Kuputar kendaraan, langsung ke parkiran. Anakku enggan turun dari mobil, hanya saja sorot matanya seakan merekam suasana. Aku sengaja tak ingin mengganggu suasana kebatinannya. Tak bertanya dan pura-pura asyik sendiri bermain handphone. Tapi, aku punya keyakinan, dibalik tatapannya yang menyapu lingkungan sekolah, ada kerinduan mereka ingin bersekolah kembali, bermain, bersenda gurau dengan teman-temannya sebaya. Tak sampai 1 menit diapun berucap; “udah Pa, jalan yok,” katanya tak berkomentar.

Inilah secuil cerita; fakta dengan sejuta makna. Suasana kebatinan anak-anak kita seakan sama.  Sekolah adalah tempatnya berinteraksi, dan sudah setahun lebih mereka tak bersua. Wajar jika mereka merindukan suasana. Main bersama, bermain bola, berkejar-kejaran hingga ngedumel saat diberi PR oleh gurunya seakan terus terlintas dibenak mereka. Tapi wabah Covid-19 menghempangnya. Aturan pemerintah yang bertujuan  untuk menekan penyebaran Covid-19 belum dicabut, akhirnya belajar tatap muka yang jadi kerinduan mereka dilarang.

Pemerintah pun sudah mengantisipasi. Belajar tatap muka berganti virtual. Anak-anak tetap belajar, tapi menggunakan sarana lain; teknologi digitalisasi. Bulan-bulan pertama mereka patuh. Belajar daring pun dimulai. Awalnya orangtua bangga, anaknya sudah mampu menggunakan perangkat teknologi. Apalagi keluar kebijakan pemerintah ada bantuan pengganti kuota.

Baca juga: Catatan Senin-Kamis; Sudah Brace, Menunggu hattrick

Sebulan, dua bulan bahkan sudah lebih setahun, anak-anak terus dicekoki cara belajar jarak jauh. Hasilnya? Anak-anak tetap anak-anak dan mereka adalah generasi kita. Ternyata, suasana bermain tetap jadi prioritas. Mereka tak lagi bermain secara fisik, tapi sudah terlena dengan dunia maya. Tak lagi bisa orang tua mengontrol, karena mereka sudah terbiasa berkilah ada PR dari guru sekolah. Dibalik semua itu bukan pelajaran yang mereka lakukan, tapi bermain dan terus bermain dengan dalih pelajaran. Bermain game online bagai tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Dulu, sebelum mewabah virus corona ini, orangtua berusaha mengurangi anak-anak menggunakan kecanggihan teknologi informasi ini. Tak cumak itu, guru di sekolah pun berusaha mengantisipasi siswanya dengan merazia atau membatasi penggunaan handphone, terutama smartphone. Langkah ini dilakukan agar para siswa lebih fokus belajar dan tidak menyalahgunakan teknologi ini. Tapi sekarang tak bisa lagi, smartphone harus dimiliki, bahkan kuotanya pun harus terisi.

Nasi hampir menjadi bubur, semuanya sudah terjadi. Mereka yang kita banggakan sebagai generasi milenial sudah soor sendiri. Tak dibolehkan mereka berinteraksi, tapi tanpa sadar kita sudah menjerumuskan mereka menjadi ‘budak’ teknologi. Guru yang mereka anggap sebagai orangtua kedua tak terlalu mereka segani lagi, karena hanya beberapa menit mereka mendengar ‘celoteh’ gurunya melalui belajar daring, selebihnya mereka asyik sendiri.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

PTPN1 Regional 1 Sembelih 13 Lembu, 4 Kambing

Minggu, 8 Juni 2025 | 06:46 WIB
X