Medan - Realitasonline.id | Pada saat berkunjung ke tanah suci pastinya merupakan impian bagi semua orang. Karena banyak tempat-tempat yang bersejarah dengan penuh keberkahan.
Menjadi suatu impian mengunjungi Tanah Suci termasuk ke dalam cita-cita pribadi seseorang tetapi jika disertakan dengan orang-orang yang cinta misalnya orang tua merupakan harapan bagi kebanyakan orang dalam membiayai Haji orang tuanya.
Adanya rasa dilema ketika memiliki dana yang cukup untuk menghajikan diri sendiri sedangkan di sisi lain memang belum pernah sama sekali melaksanakan haji dan mengingat rukun Islam yang kelima tersebut.
Baca Juga: Rugi Jika Tak Ziarah Ke Makam Rasulullah SAW Ketika Haji, Bisa Mendapatkan Syafat Loh!
Demikian ada juga tekad dalam membahagiakan kedua orang tua yang mana dalam kondisi tersebut manakah yang lebih utama didahulukan mendahulukan Haji pribadi atau membiayai orang tua?
Dari NU online dalam bahasa fiqih Mazhab Syafi'i memiliki kemampuan fisik dan finansial merupakan kewajiban dalam melaksanakan Haji tapi tidak dipaksakan berhaji dalam keadaan cepat-cepat boleh ditunda di tahun-tahun mendatang dengan syarat adanya tekad dalam melaksanakannya tidak ada kegagalan yang disebabkan suatu hal misalnya karena lumpuh ataupun bangkrut.
Maka dari itu konteks ini sah-sah saja bagi seorang anak ketika mendahulukan Haji dirinya sendiri atau menghadirkan orang tuanya karena tidak ada kewajiban baginya untuk menyegerakan Haji pribadi.
Baca Juga: Dinas Perhubungan Kota Medan Perbaiki Marka Jalan di 52 Titik di Kota Medan
Tetapi melihat dari pertimbangan keutamaan lebih baik dilakukan adalah mendahulukan hajinya sendiri karena mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh sebagaimana dalam kaidah fiqih disebutkan:
الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
Artinya: "ketika beribadah mendahulukan orang lain adalah makhluk sedangkan dalam urusan lain disunahkan,"
Tetapi di sisi lain mendahulukan Haji secara pribadi atas dasar menjaga perbedaan pendapat ulama yang menyatakan bahwa kewajiban haji itu adalah disegerakan tidak boleh ditunda bahkan tiga mazhab selain Syafi'i menegaskan:
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، وَأَمْكَنَهُ فِعْلُهُ، وَجَبَ عَلَيْهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُتَأْخِيرُهُ. وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَة، وَمَالِكٌ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَجِبُ الْحَجُّ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، وَلَهُ تَأْخِيرُهُ
Artinya:"tentang persoalan bahwa seseorang yang berkewajiban Haji Dan mungkin dibaginya untuk melaksanakannya maka wajib melakukan baginya segera tidak boleh mengakhirinya. Begitupun pendapat dari Abu Hanifah dan Malik. Sedangkan Imam Syafi'i berkata wajib hajinya dengan kewajiban yang dilapangkan dan boleh mengakhirinya," (Syekh Ibnu Quddamah, al-Mugni, juz 3 halaman 232).