Kepala Humas USU, Amalia Meutia, M.Psi., menyebut konsep ini memang belum berbentuk bank sampah berbasis tabungan, tetapi sudah sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular.
“Ke depan, kami akan menjajaki model insentif agar mahasiswa dan masyarakat sekitar lebih aktif berpartisipasi,” ujarnya.
Baca Juga: Komisaris Utama PT PGN Amien Sunaryadi Dianugerahi GRC Lifetime Achievement Award 2025
Dari Kampus untuk Bumi
Bagi Zaid, TPST lebih strategis dibanding Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Lahan yang dibutuhkan lebih kecil, biaya operasional lebih rendah, dan hasilnya lebih produktif.
Namun lebih dari itu, TPST juga multifungsi sebagai ruang riset, edukasi, dan kolaborasi.
Mahasiswa dari berbagai prodi kini bebas belajar langsung di TPST.
Baca Juga: Rico Waas Ingatkan Pentingnya Transformasi Digital Penjualan Daring Bagi Pedagang Pasar
Ada yang meneliti kualitas maggot, mengembangkan sistem digital, hingga membuat game edukasi persampahan.
“Pak Rektor ingin TPST ini jadi unit penelitian, pengabdian, sekaligus komersialisasi. Kami terbuka untuk kerja sama dengan pemerintah daerah, BUMN, UMKM, maupun kampus lain dalam pengembangannya ke depan,” kata Zaid optimis.
Meski baru berusia muda, ambisi TPST USU cukup besar: menjadi percontohan nasional dalam pengelolaan sampah perguruan tinggi, bahkan skala kecamatan dan kota.
Baca Juga: Pemko Medan Komitmen Percepat Penanggulangan TBC, Mendagri Tito Minta Langkah Nyata
Dari balik deru mesin conveyor dan aroma khas kompos, tersimpan mimpi besar: mengubah sampah menjadi sumber daya, sekaligus menopang ketahanan pangan organik.
“Kalau kita konsisten, bukan cuma nol sampah yang bisa tercapai, tapi juga ketahanan pangan organik dan peluang ekonomi yang nyata,” ujar Zaid dengan optimis.
Gerakan ini mungkin lahir dari sebuah obrolan kecil di ruang dosen, tetapi kini telah tumbuh menjadi laboratorium hidup yang menyatukan riset, teknologi, ekonomi, dan gaya hidup baru.
Baca Juga: Revitalisasi Halte MPP Mudahkan Akses Masyarakat, Rico Waas Gandeng Gojek