Sedangkan di Indonesia, Kata Dia, sejak 1979, di Selat Malaka maupun di Utara Pulau Jawa, Eksploitasi Perikanan sudah pada level di atas maximum sustainable.Terjadinya over eksploitasi.
Sehingga ketika trawl diperbolehkan kembali digunakan saat ini, ada kekhawatiran akan menambah tekanan masalah, utamanya kepada nelayan tradisional, dan merugikan sumberdaya alam di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, Secara sosial diketahui pukat trawl menjadi keresahan bagi nelayan kecil karena menjadi kompetitor utama. Pukat trawl juga masuk ke pesisir. Alat tangkap ini juga mengancam atau mengganggu alat tangkap yang digunakan nelayan. Ketika trawl beroperasi di pesisir maka alat tangkap nelayan kecil ikut rusak dan ikut terbawa.
" Jadi ada dua ancaman yang dilahirkan oleh penggunaan Trawl di perairan Indonesia khususnya di Selat Malaka, yang pertama kompetitor, nelayan kecil terganggu karena alat tangkapnya kalah dengan alat tangkap trawl yang ditarik oleh kapal besar," jelasnya.
Sehingga Dedi menyarankan trawl agar tetap dilarang digunakan dan perlu mengajak diskusi berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan ini.
"Jadi diskusi itu penting dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini agar dapat kita sama-sama pahami," pungkasnya. (AH)