Kendati demikian, tahun 2000 terdapat insiden yang sangat memilukan di Payatas. Tumpukan sampah yang menggunung di Payatas tiba-tiba menjadi longsor dan naasnya banyak orang yang bekerja di tempat ini menjdi korban akibat kejadian itu. Kabarnya sekitar 200-1000 orang kehilangan nyawa akibat tragedi ini.
Tempat tersebut ditutup untuk smentara waktu. Namun demikian, warga sekitar yang menggantungkan hidup pada Payatas protes besar. Sebab penutupan tempat tersebut membuat mereka kehilangan sumber penghasilan.
Akhirnya, warga menuntut agar tempat pembuangan sampah dibuka kembali agar mereka bisa kembali menyambung hidup. Perlahan, para pemulung sampah tidak hanya mencari barang bekas saja melainkan sisa-sisa makanan untuk di daur ulang.
Makanan ini disebut pagpag yang secara harfiah bearti menghilangkan debu atau kotoran. Awalnya pagpag adalah tindakan membersihkan debu dari kotoran. Namun seiring berjalannya waktu, istilah ini lebih sering dijadikan istilah untuk makanan yang sudah didaur ulang menjadi makanan untuk dikonsumsi.
Kendati Tingkat kemiskinan di Filifina semakin berkurang dari tahun ke tahun. Tetapi fenomena pertumbuhan makanan bekas ini sejalan pertumbuhan ekonomi orang-orang kelas menengah yang membuat banyaknya makanan cepat saji di kota -kota modern seperti KFC dan yang lainnya.
Meningkatnya makanan cepat saji untuk dikonsumsi dipengaruhi oleh tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah yang tidak punya banyak waktu untuk memasak.
Akibatnya pola makanan berubah sehingga menimbulkan sisa-sisa makanan di restoran cepat saja. Fenomena inilah yang membuat banyak para pemulung berdatangan dengan menggunakaan tong sampah untuk mengutip makanan sisa dari restoran cepat saji.
Meski dari sampah banyak masyarakat di sana yang membeli pagpag untuk dibawa pulang dan diolah dirumah mereka sebagai menu dirumah. Dalam kondisi dimana sumber daya sangat terbatas, pagpag bisa menjadi alternative pilihan bagi masyarakat daerah kumuh di Filifina untuk makanan menyambung hidup.***