Realitasonline.id | JAKARTA - Masuknya Starlink ke pasar retail jasa layanan internet segera menjadi perhatian publik.
Starlink sebagai salah satu alternatif penyedia jasa internet di
Indonesia mendapatkan respon yang beraneka ragam di masyarakat.
Muncul kekhawatiran dengan masuknya Starlink ke pasar, layanan internet akan berdampak kepada persaingan usaha yang tidak sehat pada sektor ini.
Merespon hal tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melaksanakan diskusi kelompok terpumpun (FGD) pada 29 Mei 2024 di kantor KPPU Jakarta.
Baca Juga: Mengenal Pasar Modal Syariah Indonesia Lewat Sharia Investment Week 2024 yang Digelar BEI
FGD dipimpin oleh Anggota KPPU Hilman Pujana, serta turut dihadiri Anggota KPPU Gopprera Panggabean dan Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha.
FGD juga mengundang narasumber dari perwakilan dari Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII), Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), akademisi Universitas Indonesia Prof Ine Minara S Ruky, dan perwakilan dari PT Starlink Services Indonesia.
Dalam diskusi, Wantanas yang diwakili oleh Staf Ahli Bidang IPTEK, Hendri Firman Windarto menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan kajian terhadap masuknya Starlink di Indonesia.
Wantanas pun telah menyampaikan rekomendasinya kepada Presiden
yang berfokus kepada pentingnya regulasi dan kebijakan nasional yang dapat melindungi keamanan data dan persaingan usaha nasional.
Sementara itu perwakilan dari asosiasi masing-masing menyampaikan respon senada berkaitan dengan hadirnya Starlink.
Perwakilan asosiasi ini menyoroti adanya peraturan maupun kebijakan yang belum dipenuhi oleh Starlink untuk dapat beroperasi di Indonesia, antara lain adanya Network Operation Center (NOC), landing rights satellite maupun kewajiban-kewajiban lain yang selama ini telah dilakukan oleh pelaku usaha yang lebih dulu bergerak di jasa layanan internet.
Selain itu, adanya perbedaan harga perangkat dan jasa layanan Starlink yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di negara asalnya.
Sehingga terdapat kekhawatiran adanya predatory pricing yang dilakukan Starlink yang dapat menggerus pelaku usaha UMKM. Begitupun dengan regulasi yang menjadi acuan dalam bisnisnya, asosiasi mempertanyakan apakah Starlink menggunakan acuan regulasi yang sama mengingat teknologi yang digunakannya merupakan teknologi baru.
Berkaitan dengan predatory pricing, Ine menyampaikan bahwa predatory pricing tidak selalu identik dengan harga lebih murah, juga tidak dengan membandingkan harga di satu tempat dengan tempat lain.