Mereka mendapati bahwa air dalam sumur Dzarwan berwarna merah kecokelatan seperti air perasaan daun pacar sementara kepala mayangnya seperti kepala setan.
Satu riwayat menyebutkan bahwa gulungan sihir tersebut dibiarkan di dalam sumur. Nabi Muhammad tidak meminta untuk mengangkatnya karena Allah telah menyembuhkannya.
Beliau juga tidak suka menyebar keburukan kepada orang banyak. Nabi kemudian meminta agar sumur Dzarwan ditutup. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa gulungan sihir tersebut diangkat dari dalam sumur.
Setelah dibakar, buhul tersebut memperlihatkan tali dengan 11 simpul yang susah untuk dibuka.
Pada saat itu, turun wahyu Surat Al-Falaq dan An-Nas (muawwidzatain) kepada Nabi Muhammad. Setiap Nabi Muhammad membaca dua surat itu, maka terbukalah satu simpul tali itu dan demikian seterusnya hingga sebelas kali.
Sejak saat itu, sebelum tidur, Nabi Muhammad selalu membaca muawidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)–ada yang menyebut Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas–sebelum beliau tidur.
Tidak lain, ini adalah untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti sihir.
Kalau seandainya beliau sakit parah, maka Sayyidah Aisyah yang membacakan surat-surat tersebut dan mengusapkan tangannya pada tubuh Nabi Muhammad.
Said Ramadhan Al-Buthy dalam The Great Episodes of Muhammad SAW (2017) mengatakan bahwa sihir yang menimpa Nabi Muhammad hanya berpengaruh pada jasad bagian luarnya saja.
Artinya, sihir tersebut tidak sampai ‘menyerang’ hati, akal, dan keimanannya.
Nabi memang maksum, namun kemaksumannya bukan berarti beliau terbebas dari berbagai macam penyakit dan berbagai faktor manusiawi lainnya.
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad menderita ketika terkena sihir tersebut, layaknya manusia lain kalau terkena.
Ketika seseorang mengalami sakit keras, maka wajar kalau dia diliputi khayalan atau bayangan akibat dari sakit yang dideritanya itu.
Begitu pun dengan Nabi, beliau membayangkan telah melakukan sesuatu tapi nyatanya tidak. Al-Buthy menegaskan bahwa Nabi Muhammad terkena sihir tersebut bukan aib atau kekurangan pada dirinya.
Sekali lagi, Nabi Muhammad maksum (terjaga dari kesalahan dan kekurangan dalam menyampaikan syariat Allah). Namun kemaksumannya itu ‘tidak berlaku’ dalam hal-hal keduniawian seperti sakit, lapar, haus, dan lainnya.