“Sebagai contoh dari dampak dari Perkebunan PT Torganda, Gabungan Kelompok Perjuangan Tani Sejahtera (Gakoptas) yang terdiri dari lebih kurang 3500 kepala Keluarga, mereka harus diusir dari wilayah kelolanya. Sudah 20 tahun lebih dan puluhan kali Gakoptas mendapat harapan palsu Pemerintah," kata Rianda.
Hingga saat ini, katanya, telah banyak surat Kementerian Kehutanan, DPR RI, hingga proses hukum yang jelas menyatakan PT Torganda menguasai hutan secara illegal. Selain itu, berbagai upaya perjuangan oleh Gakoptas terhadap tanahnya yang dirampas dan akses atas pengelolaannya selama puluhan tahun dari Pemerintah daerah – pusat belum menemukan solusi.
Dan hingga hari ini, Gakoptas masih menagih janji dan komitmen Negara terhadap pemenuhan hak-hak Masyarakat yang dirampas.
Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi dan gratifikasi, WALHI juga menyampaikan catatan kritisnya terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, dimana Jampidsus Kejaksaan Agung menjadi ketua pelaksana Satgas tersebut.
Satgas harus menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan.
Satgas tidak boleh melakukan penertiban kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan.
WALHI berharap Kejaksaan Agung memproses laporan yang telah disampaikan dan WALHI juga terbuka untuk bekerja bersama Kejaksaan Agung baik di nasional maupun daerah-daerah untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA tersebut.