Tidak berhenti di situ, Cak Imin juga mengusulkan pembentukan kementerian khusus Haji dan Umrah. Usulan ini sebenarnya tidak substansial dan hanya sebagai pengalihan dari agenda politis yang sebenarnya.
Pemerintah saat ini telah mampu menangani pelaksanaan haji dengan baik melalui Kementerian Agama yang ada. Penambahan kementerian baru justru akan menambah beban birokrasi dan tidak menjamin peningkatan efisiensi. Usulan ini lebih terlihat sebagai langkah untuk menciptakan jabatan baru yang dapat diisi oleh kader partai, bukan sebagai solusi yang nyata dan dibutuhkan.
Manuver politik Cak Imin terkait isu haji menunjukkan strategi yang tidak hanya dangkal, tapi juga mencerminkan kekurangan visi dan kematangan politik. Pernyataannya tentang “persoalan haji yang tidak ada solusi” terkesan sebagai retorika kosong yang mengabaikan fakta-fakta peningkatan kualitas penyelenggaraan haji tahun 2024.
Usulan politis untuk mendorong Jazilul Fawaid sebagai Menteri Agama, pembentukan Pansus Angket Penyelenggaraan Haji, hingga wacana kementerian khusus Haji dan Umrah, jelas merupakan serangkaian taktik politik primitif yang bertujuan mengamankan kekuasaan semata.
Strategi ini mencerminkan pendekatan Machiavellian yang kasar, dimana tujuan menghalalkan segala cara, bahkan jika harus mengorbankan kredibilitas institusi dan mengabaikan kepentingan jamaah haji.
Cak Imin, dalam upayanya merebut pengaruh politik, telah melakukan apa yang dalam teori politik dikenal sebagai ‘manufactured crisis’. Ia menciptakan narasi krisis palsu dalam penyelenggaraan haji, padahal data empiris menunjukkan peningkatan signifikan dalam berbagai aspek.
Taktik ini bukan hanya mencerminkan kemiskinan gagasan, tapi juga menunjukkan kegagalan dalam memahami esensi kepemimpinan yang seharusnya berorientasi pada pelayanan publik.
Lebih lanjut, pendekatan politik transaksional yang ditunjukkan Cak Imin – dengan secara terang-terangan mendoakan posisi kabinet untuk koleganya di tengah kontroversi – menggambarkan degradasi etika politik. Ini adalah bentuk clientelism yang vulgar, dimana jabatan publik dipandang sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan demi kepentingan partai.
Kesimpulannya, rangkaian tindakan Cak Imin ini bukan hanya menunjukkan motif politik yang kerdil, tapi juga menyingkap ketidakmampuan dalam merumuskan kebijakan substantif. Alih-alih memberikan solusi nyata atau kritik konstruktif, ia justru terjebak dalam pusaran politik identitas dan kepentingan sempit yang kontraproduktif bagi kemajuan demokrasi Indonesia.
Sudah waktunya kita berhenti bermain-main dengan drama politik murahan ala sinetron yang menguras energi bangsa. Alih-alih berputar-putar dalam pusaran retorika kosong dan manuver politik picisan, mari kita hadapkan para politisi kita dengan cermin.