Kasus Pembakaran Rumah Wartawan di Karo, Divisi KontraS Jakarta: Impunitas atau Sidang Koneksitas Oknum TNI Herman Bukit

photo author
- Rabu, 19 Februari 2025 | 21:49 WIB
Ilustrasi dugaan keterlibatan oknum dalam kasus pembakaran rumah wartawan di Karo pada Juli 2024 menjadi pertanyaan. Pasalnya oknum Herman Bukit tak pernah datang ke pengadilan negeri Kabanjahe  pada 10 dan 17 Februari 2025 kemarin. (realitasonline.id/Mukhtar Habib)
Ilustrasi dugaan keterlibatan oknum dalam kasus pembakaran rumah wartawan di Karo pada Juli 2024 menjadi pertanyaan. Pasalnya oknum Herman Bukit tak pernah datang ke pengadilan negeri Kabanjahe pada 10 dan 17 Februari 2025 kemarin. (realitasonline.id/Mukhtar Habib)


Realitasonline.id - Medan | Kasus pembakaran rumah wartawan di Karo pada Juli 2024 lalu, yang telah menewaskan satu keluarga, yakni Rico beserta istri Efprida boru Ginting (48), anak SIP (12), dan cucunya LS (3) diduga Herman Bukit sebagai otak pelaku dari oknum TNI berpangkat kopral satu.

Divisi KontraS Jakarta menduga pihak TNI melindungi dan mengimpunitas kasus dugaan Herman Bukit sebagai otak pelaku.

"Prosesnya sudah 6 bulan dari kasus ini sampai ke persidangan dipersulit. Itu bentuk bagaimana bahwa mereka-mereka ini mencoba untuk melindungi, impunitas lagi dan tidak serius mengungkap peristiwa ini," ungkap Yahya dari Divisi KontraS Jakarta, saat ditemui Harian Realitas/realitasonline.id di Aula Fakultas Hukum USU, Medan. Rabu, (19/2/2025).

Baca Juga: Kasus Pembakaran Rumah Wartawan Rico Sampurna, LBH Medan Ungkap Bukti Baru

Yahya mengungkapkan kalau kasus yang terjadi dipersulit seperti halnya dalam pemanggilan oknum TNI Herman Bukit pada persidangan pengadilan negeri Kabanjahe pada 10 dan 17 Februari 2025 kemarin.

"Kita diperlihatkan secara jelas, memang seolah-olah mereka mencoba melindungi para terduga pelakunya. Kalau kita runut dari persidangan sebelumnya, itu kan permintaan dari hakim uhtuk dihadirkan yang bersangkutan (Koptu HB) atas dasar keterangan para terdakwa," kata Yahya.

"Kemarin saya datang langsung ke pengadilan dan itu Jaksa, JPU bilang mereka sudah memanggil yang bersangkutan, namun pihak TNI menyampaikan bahwa belum dapatkan approval dari Pangdam (BB I Medan).

Meski sejalan dengan alasan tersebut, namun Yahya kecewa dengan lamanya proses penegakan hukum yang terkait.

"Padahal sebetulnya ini untuk penegakan hukum, yang seharusnya tidak boleh dibuat lama tidak boleh dipersulit.Memang pemanggilan saksi itu harus berdasarkan surat tugas, terlebih terduga atau yang terpanggil ini memang anggota aktif, sehingga butuh semacam izin dari komandannya. Cuma kan yang kita pertanyakan mengapa izin ini sangat dipersulit dan dibuat lama," ujarnya.

Yahya juga mengatakan kasus penegakan hukum ini masih ada harapan, namun kemungkinan bisa saja terjadi sidang koneksitas terhadap kasus ini, yakni Herman Bukit diadili di peradilan militer dan terduga lainnya bersama pihak korban di sidang di pengadilan umum.

"Masih bisa ada harapan, kita perlu pengawalan yang sangat ketat. Bisa jadi ada kemungkinan terduga prajurit TNI tersebut (Herman Bukit) anggota aktif maka akan menjadi peradilan militer sehingga akan menjadi (sidang) koneksitas," jelasnya.

Menurutnya (UU) Nomor 31 Tahun 1997 telah mengatur kewenangan peradilan militer terkait, oknum dimaksud bertentangan dengan undang-undang kehakiman Nomor 48 Tahun 2009.

Yahya berpendapat kalau kasus ini bisa tanpa koneksitas yang artinya 1 peradilan saja, pengadilan militer atau pengadialn umum.

"Koneksitas itulah yang harusnya kita tentang (menyelisihi). Karena menurut Undang-undang Kekuasan Kehakiman koneksitas itu gak ada. Harus diadili di sana satu peradilan, entah itu pengadilan umum atau pengadilan militer. Namun harus dilihat mana sisi kerugian yang paling banyak," pungkas Yahya.(Mukhtar Habib)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Mukhtar Habib

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X