Sutarto menjelaskan, persoalan tapera mendapat penolakan dari berbagai elemen pegawai/ pekerja. "Secara ekonomi justru bisa menjadi beban baru bagi pekerja, sudah terlalu banyak potongan gaji dari para pegawai /pekerja, sebaiknya Pemerintah meninjau ulang pemberlakuan Tapera," tambahnya.
Baca Juga: Bawaslu Labura Pastikan tidak Ada Kutipan Uang Rekrutmen Anggota PKD
Ia berharap pemerintah tidak sembrono dalam menetapkan iuran wajib tapera. "Kita tegaskan keberpihakan kepada rakyat kecil, pekerja informal, para marhaen seperti yang pernah diungkapkan Bung Karno. Indonesia dibangun bukan untuk segelintir orang saja, negara ini didirikan semua untuk semua, keadilan bagi semua," jelasnya.
Diketahui, Tapera merupakan penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan atau dikembalikan setelah kepersetaan berakhir.
UU no.4 Tahun 2016 tentang tabungan perumahan rakyat, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang bekerja paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta tapera.
Baca Juga: Kisruh Soal Kutipan Pengawas SMP Disdik Deli Serdang, Pembina GTK Dituding Mencampuri
Selanjutnya, pemerintah membuat peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Aturan itu direvisi menjadi PP Nomor 21 Tahun 2024 yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024 lalu.
Iuran tapera ini viral dan mendapat protes karena diwajibkan juga untuk pekerja swasta dan mandiri. Padahal, sebelumnya hanya dibebankan kepada aparatur sipil negara (ASN).
Baca Juga: Terkait Kutipan ke Pengawas SMP Disdik Deli Serdang, Inspektorat Akan Lakukan Cek
Besaran simpanan Tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah peserta pekerja. Rinciannya dijelaskan di pasal 15 ayat 2, di mana jumlah tersebut ditanggung bersama sebesar 0,5 persen oleh pemberi kerja dan 2,5 persen dari pekerja tersebut.(mis)