Baca Juga: DPK BKPRMI Lubuk Pakam Gelar Safari Subuh Berjamaah dan Pasar Sayur Gratis
Kebijakan yang tidak relevan/bukan kebutuhan warga kota Medan ini menimbulkan tanda tanya besar, Seyogiyanya POLRI merupakan salah satu institusi dengan pagu DIPA Terbesar kedua di Indonesia setelah Kementerian Pertahanan pada tahun 2025, anggaran Polri sebesar Rp106,6 triliun, dari total pagu tersebut, alokasi terbesar adalah untuk belanja pegawai (sekitar Rp59,44 triliun), dan komponen lainnya seperti komponen belanja barang dan belanja modal
Dengan kapasitas anggaran sebesar itu, sangat tidak masuk akal bagi Pemkot Medan untuk menanggung pembiayaan rehabilitasi gedung kepolisian, karena pembangunan gedung Polri seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab institusi Polri sendiri.
Keputusan ini bukan hanya tidak relevan, tetapi juga menimbulkan keraguan publik tentang dasar kebijakan, mekanisme perencanaan, dan pihak yang paling diuntungkan. Sementara fasilitas umum milik warga seperti jalan, drainase, penerangan, dan pedestrian masih belum makasimal seperti yang diharapkan warga kota Medan. Bahkan di sektor pendidikan dan kesehatan.
Penggunaan dana miliaran untuk gedung polisi memperlihatkan ketidakpekaan serius Pemko Medan terhadap kebutuhan masyarakat Kota Medan.
Dugaan Kejanggalan LPSE, Percepatan Akhir Tahun, dan Risiko Penyimpangan Anggaran
"Proyek ini sangat berpotensi menimbulkan kekhawatiran dan kecurigaan publik karena diumumkan menjelang akhir tahun anggaran, terlebih dengan pagu sebesar Rp 4.954.854.000 dan HPS mencapai Rp 4.999.060.000, sementara sumber pendanaannya berasal dari APBD Perubahan (APBDP) 2025, bukan dari anggaran institusi kepolisian," kata Irvan.
Baca Juga: Polres Aceh Selatan Gelar Apel Pasukan Operasi Zebra Seulawah 2025
Proyek rehabilitasi Gedung Satreskrim Polrestabes Medan yang tercatat dalam LPSE Kota Medan justru semakin mempertebal keraguan masyarakat. Berdasarkan data resmi, paket ini memiliki Kode Lelang 10094736000, dikelola oleh Dinas Perumahan Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang, dan saat ini berada pada tahap Pengumuman Pascakualifikasi dengan rentang jadwal yang sangat singkat, yakni 3 November 2025 hingga 24 November 2025.
Rangkaian fakta ini mengindikasikan adanya pola percepatan belanja di penghujung tahun untuk menghabiskan anggaran sebelum tutup buku, sebuah praktik yang secara historis kerap menimbulkan masalah dalam pengelolaan keuangan daerah. Tanpa penjelasan yang meyakinkan mengenai urgensi rehabilitasi, ditambah ketiadaan dokumen perencanaan yang matang, studi kebutuhan, maupun transparansi dalam proses penetapan proyek, publik memiliki alasan kuat mempertanyakan integritas keputusan pemerintah.
Proyek yang didorong secara tergesa-gesa/ugal-ugalan di akhir tahun anggaran patut diduga dimanfaatkan sebagai celah korupsi, sekaligus memunculkan persepsi bahwa anggaran publik kembali dikelola secara tidak profesional dan tidak akuntabel.
Minimnya keterbukaan informasi mengenai detail proyek ini semakin memperkuat dugaan bahwa proses perencanaannya tidak hanya serampangan, tetapi mungkin disusun semata-mata untuk memenuhi agenda penghabisan anggaran, bukan menjawab kebutuhan masyarakat.
Analisis Ahli: Durasi 40 Hari Tidak Rasional, Diduga Berpotensi Manipulasi Tender
Laporan mengenai penetapan durasi rehabilitasi yang hanya 40 hari memperkuat kejanggalan serius dalam proyek ini, terutama karena secara teknis tenggat tersebut hampir mustahil untuk menyelesaikan pekerjaan struktur gedung berskala besar tanpa mengorbankan kualitas dan keselamatan. Pemerhati konstruksi Erwin Simanjuntak, ST, menegaskan bahwa pekerjaan struktur seperti pondasi, sloof, kolom, balok, hingga plat lantai tidak mungkin dikebut tanpa risiko besar, sebab beton memerlukan proses curing 21–28 hari, belum termasuk pembesian, pengecoran, hingga pembongkaran bekisting. Ia memperingatkan bahwa pemadatan waktu seperti ini dapat menyebabkan keretakan dini atau bahkan kegagalan bangunan.
Senada dengan itu, pengamat pengadaan pemerintah Juliandi Depari menilai jadwal 40 hari merupakan “indikator merah” yang tidak rasional, bertentangan dengan prinsip pengadaan dalam Perpres 16/2018 jo. 12/2021 yang mengharuskan jadwal bersifat rasional, proporsional, dan terukur. Ia menyoroti anomali ketika masa pelaksanaan justru lebih pendek daripada masa penawaran, sebuah pola yang dalam pengalaman pengadaan kerap mengindikasikan potensi pembatasan persaingan atau pengkondisian tender.