Oleh: Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp., MNS. & Oasena Melliany, S.Kep.,Ns.
(Program Studi Magister Ilmu Keperawatan F.Kep. USU)
Realitasonline.id - Di tengah semakin kompleksnya pelayanan kesehatan, dunia keperawatan diam-diam sedang bergerak ke arah yang lebih dewasa. Perawat tak lagi hanya dikenal sebagai pelaksana prosedur medis, tetapi sebagai tenaga profesional yang harus mampu membaca manusia, memahami makna sehat-sakit, dan mengambil keputusan secara sadar bukan sekadar “tugas dari rumah sakit”.
Perubahan cara pandang ini bukan muncul tiba-tiba. Selama satu semester, mahasiswa keperawatan di berbagai kampus di Medan mengikuti mata kuliah yang mungkin terdengar berat: Filsafat Ilmu dan Filsafat Keperawatan. Namun di balik istilah yang rumit, ada pondasi penting yang kelak akan menentukan seperti apa wajah pelayanan kesehatan di Sumatera Utara. Bagi banyak mahasiswa, pertemuan pertama dengan filsafat terasa seperti membuka pintu ke ruangan yang sama sekali berbeda dari kelas laboratorium. Di sini tidak ada jarum suntik, tensimeter, atau stetoskop. Yang ada hanya pertanyaan: “Apa sebenarnya manusia itu? Bagaimana kita tahu sesuatu itu benar? Untuk siapa keputusan perawat diambil?”
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ternyata membentuk dasar profesi keperawatan.
Baca Juga: Ketika Hujan Turun, Nyamuk Bangkit: Medan Bersiap Menghadapi Gelombang DBD
Melihat Manusia Lebih dari Sekadar Pasien
Di Medan, beberapa dosen keperawatan menjelaskan kepada mahasiswanya bahwa memahami hakikat manusia adalah langkah awal menjadi perawat yang baik. Filsafat mengajarkan bahwa manusia bukan tubuh saja, tetapi juga pikiran, perasaan, keyakinan, dan pengalaman hidup. Dalam praktiknya, seorang perawat tidak merawat luka ia merawat orang yang terluka. Ia tidak merawat penyakit ia merawat seseorang yang sedang berada dalam kondisi sakit. Cara pandang ini membuat pelayanan keperawatan menjadi lebih hangat, lebih manusiawi, dan lebih dekat dengan harapan masyarakat.
Berpikir Benar untuk Bertindak Benar
Di kelas filsafat, mahasiswa juga diajak mempertanyakan apa itu pengetahuan. Dari sinilah mereka belajar bahwa keputusan perawat tidak boleh hanya didasarkan pada kebiasaan, senioritas, atau “katanya”. Perawat harus memahami mengapa sebuah tindakan dilakukan dan apa dasar ilmiahnya.
Filsafat mengenalkan dua jalan besar dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme, yang menggunakan logika dan pemikiran jernih; dan empirisme, yang bersandar pada pengalaman nyata dan bukti lapangan. Keduanya menjadi senjata perawat saat harus mengambil keputusan cepat di ruang IGD, UGD, atau ruangan rawat inap. “Perawat itu harus berpikir seperti ilmuwan, tapi bersikap seperti manusia,” ujar salah seorang dosen di Medan yang ditemui usai praktikum. Sebuah kalimat yang sering diulang kepada mahasiswa tingkat awal.
Baca Juga: KEPERAWATAN: ILMU YANG TIDAK LAGI BERDIRI DI BAYANG-BAYANG MEDIS
Logika: Perawat Bukan Hanya Tahu, Tapi Paham
Salah satu bagian filsafat ilmu yang cukup memberi tantangan adalah logika. Banyak mahasiswa baru menyadari bahwa selama ini mereka sering mengambil kesimpulan terburu-buru, terpengaruh emosi, atau mengikuti asumsi yang salah. Dalam pelayanan kesehatan, kesalahan kecil dalam berpikir dapat membawa dampak besar. Karena itu, perawat dilatih menggunakan pemikiran induktif dan deduktif, menilai argumen secara rasional, dan membedakan antara opini dan fakta. Tujuannya sederhana namun penting: agar setiap tindakan keperawatan memiliki alasan yang jelas, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menemukan Makna di Balik Ilmu