Bangun mengemukan tiga isu penting yang menjadi contoh kasus bagaimana pers dipandang dalam perspektif wawasan kebangsaan.
Pertama, bagaimana pers Indonesia memberitakan tragedi di Gaza, pembantaian warga Palestina di Rafah, tewasnya puluhan ribu manusia akibat pembantaian militer Israel? Di saat negara lain banyak mendiamkan lalu bagaimana Indonesia menunjukkan kebangsaannya terhadap dunia? Bangun pun menjelaskan bahwa apa yang dilakukaan pers Indonesia sejalan dengan politik luar negeri Indonesia sendiri yang selalu mendukung kemerdekaan Palestina, anti penjajahan, dan menempatkan pasukan Palestina sebagai pejuang.
Kedua, bagaimana sikap pers Indonesia dalam pemberitaan tentang gugatan Uni Eropa atas ekspor minyak kelapa sawit dengan alasan terjadi deforestisasi akibat pembukaan lahan-lahan baru?
Baca Juga: Konkernas 2024: Tolak KLB Jakarta, Hendry Ch Bangun Tetap Jadi Ketua PWI Pusat, tak Ada Dualisme!
"Sawit ini adalah primadona ekspor Indonesia. Sawit adalah nomor 5 devisa terbesar di Indonesia. Jadi (kita) mulai bangun pagi sampai tidur ada unsur sawit dan murah, sabun ada, pasta gigi ada. (Namun) ada sisi buruk iya, tapi kalau perspektif kita dalam negara lain (maka) yang harus kita tonjolkan manfaatnya dulu," jelas Bangun.
Dan ketiga, bagaimana pers menyikapi pemberitaan di Papua, ketika ada insiden di sana? Bangun pun menegaskan bahwa semua hal yang membuat ancaman bagi persatuan bangsa dan negara pers harus hadir untuk menghalaunya.
"Kita harus berpikir susah payah dulu ini pemimpin-pemimpin kita menyatukan Indonesia. Sehingga apapun namanya, gerakan pemisahan atau sparatis itu nggak boleh kita (pers) biarkan, itu sikap kita," tandasnya. (IP)