medan

KETIKA SUNYI MENYEMBUNYIKAN BAHAYA: MEDAN BERJUANG MENGHADAPI KANKER SERVIKS

Selasa, 9 Desember 2025 | 07:52 WIB
Nur Hanifah,S.Kep.,Ns. (Realitasonline.id/Dok)

Oleh : Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp., MNS & Nur Hanifah,S.Kep.,Ns
(Program Studi Magister Ilmu Keperawatan F.Kep. USU)

Realitasonline.id - Di tengah kesibukan masyarakat Kota Medan yang terus bergerak tanpa henti, satu penyakit berbahaya berkembang secara senyap yaitu, kanker serviks. Penyakit mematikan ini sering tidak menunjukkan gejala pada tahap awal, dan banyak kasus baru terdeteksi ketika telah memasuki stadium lanjut.Tenaga kesehatan menyebut kondisi sunyi ini sebagai “ancaman tersembunyi”, karena gejala awal sering dianggap sepele dan pembahasan mengenai kesehatan reproduksi masih
dibayangi stigma serta rasa malu. Kanker serviks sendiri merupakan kanker yang tumAbuh pada leher rahim dan berasal dari lapisan epitel permukaan luar leher rahim (Nola, 2023).

Tingginya kasus dan kematian akibat kanker serviks di negara berpenghasilan rendah dan menengah masih menjadi persoalan serius. WHO pada 2024 menyebut kondisi ini dipicu terbatasnya akses pengobatan, rendahnya cakupan vaksinasi HPV, serta layanan skrining yang belum merata. Secara global, GLOBOCAN 2022 mencatat prevalensi kanker serviks mencapai 50 per 100.000 perempuan, dengan insidensi 14 per 100.000 dan tingkat kematian kasus (CFR) sebesar 53 persen.

Baca Juga: Ketika Ilmu Bertemu Nurani: Penerapan Filsafat Ilmu dalam Pelayanan Keperawatan

Di Indonesia, angkanya bahkan lebih tinggi. Prevalensi mencapai 87 per 100.000 dengan insidensi 23 per 100.000, menjadikan kanker serviks sebagai penyakit keganasan kedua terbanyak setelah kanker payudara, dengan CFR 56 persen. Kementerian Kesehatan RI melaporkan sekitar 70 persen pasien sudah datang dalam kondisi stadium lanjut, yang menjadi penyebab utama tingginya angka kematian.

Mengincar Perempuan Usia Produktif

Kanker serviks tetap menjadi masalah kesehatan utama bagi perempuan Indonesia, terutama mereka yang berusia 30–39 tahun.

Gejala awal yang dapat muncul antara lain pendarahan setelah berhubungan seksual, keputihan berbau menyengat, perdarahan yang menetap, serta nyeri pada area kewanitaan. Mayoritas kasus disebabkan Infeksi Human Papillomavirus (HPV). Faktor risiko meningkat pada perempuan yang merokok, memiliki banyak pasangan seksual, menggunakan kontrasepsi tertentu, terpapar zat pemicu mutasi, memiliki polamakan buruk, serta mengonsumsi obat-obatan jangka panjang. Rendahnya kesadaran melakukan skrining rutin menjadi penyebab utama banyaknya kasus ditemukan pada stadium lanjut.

Edukasi Jadi Kunci Memutus Rantai Resiko Stigma dan minimnya informasi masih
menjadi hambatan besar. Mitos yang beredar di masyarakat kerap membuat perempuan enggan melakukan pemeriksaan.

Baca Juga: Saat Mesin Berhenti, Perjuangan Dimulai: Potret Kemandirian Pasien Gagal Ginjal kronis yang Menjalani Hemodialisis saat Di Rumah

Beberapa di antaranya meliputi:

1. Tes IVA Dan Pap Smear Dianggap Memalukan.

Padahal kedua pemeriksaan ini merupakan metode skrining efektif yang dianjurkan
dilakukan secara berkala (IVA tiap 3 tahun; Pap Smear secara teratur).

2. Vaksin HPV Dianggap Tidak Penting.

Vaksin ini justru pencegahan paling efektif terhadap kanker serviks, terutama untuk tipe HPV 16 dan 18. Ideal diberikan pada anak usia 9–14 tahun, namun tetap bermanfaat hingga usia dewasa muda.

Halaman:

Tags

Terkini

Kota Medan Kirim 5 Armada Damkar ke Aceh Tamiang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:43 WIB

UMP Sumut 2026 Naik 7,9 Persen Kini jadi Rp3.228.971

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:07 WIB