Hutan Batang Toru dengan tutupan lebat dan air sungai mengalir di dalamnya, jadi incaran berbagai kepentingan, antara lain, pembangkit listrik tenaga air.
Sudah hampir satu tahun dia tidak lagi menempati rumahnya. Karena tidak punya rumah lagi, dia menumpang di rumah ibunya. Rumah itu dia biarkan begitu saja karena belum punya uang untuk memperbaiki.
“Dulu, mau bangun rumah ini susah payah cari uangnya, sekarang setelah roboh, belum ada uang untuk menggantinya,” katanya.
Tak jauh dari rumah Zulfahri, atau hanya berjarak satu kilometer itu lokasi pembangunan pembangkit tenaga air, PLTA Batang Toru, dengan pengelola PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE).
Selain nrumah Zulfahri, sedikitnya ada empat rumah sudah jebol. Mereka menduga, kerusakan atau rumah roboh ini dampak dari peledakan tanah untuk proyek PLTA ini.
Rumah ibu Zulfahri, Nur Asima, juga rusak dan rawan roboh. Kamar sudah jebol karena lantai amblas, juga bagian dapur sudah roboh. Pondasi rumah itu kini ditopang menggunakan pecahan beton dan kayu agar tetap bisa berdiri.
“Padahal, sudah lebih dari 25 tahun ibu tinggal di sini, tidak pernah terjadi seperti ini sebelumnya, sejak ada PLTA ini baru mulai roboh,” kata perempuan 74 tahun ini. Dia menunjukkan bagian-bagian rumah yang jebol, seperti kamar tidur, ruang tengah dan dapur.
Terowongan bawah tanah yang dibangun oleh PT Dahana di Batang Toru untuk kepentingan PLTA.
Warga lain, Nurjannah, juga mengatakan, sudah tinggal di sana lebih 30 tahun tak pernah mengalami kerusakan rumah seperti ini. Baru dalam dua tahun belakangan ini rumah rusak.
Dia menunjukkan lantai kamar rumah sudah roboh dan terpaksa ditopang tiang. Kondisi darurat, sewaktu-waktu bisa runtuh. Karena tidak ada pilihan, kamar itu masih digunakan anaknya.
Kondisi dapur rumah juga mulai runtuh. Dia khawatir suatu saat akan roboh juga.
Perempuan 53 tahun ini menduga rumah rusak dan turun sejak proyek PLTA mulai jalan.
“Sejak ada PLTA ini mulailah sering terjadi getaran karena ledakan [di proyek PLTA] itu,” katanya.
PLTA Batang Toru dibangun secara konsorsium antara NSHE dengan anak perusahaan PT PLN, PT Pembangkit Jawa Bali, di areal seluas 6.598,35 hektar. Ia berada di sekitar landskap Batang Toru, meliputi tiga kecamatan: Sipirok, Marancar dan Batang Toru (Simarboru).
Adapun kepemilihan saham NSHE sebesar 52,82% dari PT Dharma Hydro Nusantara, sekitar 25% PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dan 22,18% Fareast Green Energy Pte Ltd.