Pak dosen pun mulai lebih serius, ia merogoh kocek hingga Rp 1,5 juta untuk membeli sebanyak 200 ekor bebek muda dari daerah Solo, Jawa Tengah.
Dengan memanfaatkan lahan seluas 100 m2 yang merupakan lahan tidak terpakai miliknya di Boyolali.
Ia menjalankan peternakan sembari mempelajari sistem usaha yang akan dikembangkan dan membangun jaringan untuk pemasaran.
Ia mengawinkan indukan bebek dengan perbandingan jantan dan betina 1:5. “Hasil bebek dari ternak kedua lumayan dengan tingkat kematiannya lebih kecil dibandingkan sebelumnya,” ujar Joko.
Usahanya terus berlanjut hingga sekarang. Ia mengungkapkan, kunci sukses usahanya adalah memperkenalkan penjualan itik jantan muda dalam bentuk karkas.
Ya, di tahun kedua usaha, Joko mulai mengembangkan bebek potong (karkas) dengan target dapat menyuplai bebek ke beberapa restoran yang menyediakan menu bebek di daerah Solo dan Yogyakarta.
Lambat laun, usahanya berkembang dan pemasarannya merambah ke Surabaya pada 2007.
Di sini, Joko mengetahui bahwa permintaan bebek hidup dan bebek ungkep (prasaji) cukup tinggi.
Meski tingkat persaingannya juga cukup tinggi karena banyak peternak bebek dari daerah juga memasok, Joko mengaku ikut meramaikan persaingan itu.
Tahun 2008, ia mengepakan sayap usahanya ke Jakarta. Untuk memulai usahanya di Jakarta, ia mensurvei restoran-restoran yang menghidangkan bebek.
Agar bisa lebih memasok untuk kebutuhan restoran, tahun 2008 Joko membuka sistem kemitraan.
Harga Cenderung Stabil
Harga daging bebek tergolong sepi dari isu fluktuasi harga seperti yang terjadi pada daging ayam.
Harga daging bebek cenderung lebih stabil. Di pasaran, harga bibit bebek untuk jenis Peking KW (persilangan betina hibrida putih dan pejantan Peking) mencapai Rp 8.500 per ekor.
Sedangkan untuk bibit jenis Hibrida Rp 7.500 dan jenis Mojosari Rp 9.300 per ekor.
Sebagian besar peternak bebek pedaging masih berada di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.