Sosok Sundel Bolong dianggap sebagai hukuman atas perempuan yang tidak hidup dengan citra ‘baik-baik’ dan melanggar ‘aturan’ sosial, sehingga tidak sempurna menjalankan siklus hidupnya.
Hidup ideal yang diwacanakan bagi perempuan adalah menikah, hamil, memiliki, anak, menjadi ibu rumah tangga, membesarkan anak, dan meninggal dengan tenang.
Dengan demikian, arwah gentayangan tersebut dipercaya sebagai akibat dari ketidakberhasilannya dalam menciptakan siklus ideal tersebut, misalnya karena menjadi korban perkosaan, keguguran, atau meninggal saat melahirkan, yang dibumbui embel-embel sebagai perempuan ‘nakal’.
Dengan adanya pengkonstruksian peran, perilaku, aktivitas, atribut, dan kepatutan yang dianggap tepat untuk perempuan atau laki-laki.
Maka setiap individu senantiasa hidup dengan mengacu pada harapan-harapan sosial dan dibelenggu oleh keharusan-keharusan, serta tuntutan-tuntutan yang bukan berlandaskan pada kebebasan dan ekspresi pribadi.
Kemudian, dampak selanjutnya adalah perempuan yang senantiasa dijadikan sebagai makhluk nomor dua dan diperlakukan dengan semena-mena, sebagaimana wacana Sundel Bolong.
Sosok Sundel Bolong dapat ditafsirkan sebagai simbol dari perempuan yang tidak diinginkan dan bahkan dianggap menjijikan melalui penggambaran isi perutnya yang terlihat.
Mitos yang bermula dari film-film horor yang secara berkelanjutan terus dipercaya dan masih menjadi buah bibir masyarakat ini pun bisa dimaknai sebagai penanda tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Selain itu, teror yang dilakukan para arwah gentayangan juga dapat mengartikulasikan betapa rendahnya upaya penegakan hukum di Indonesia terhadap para pelaku.
Jika dicermati lebih dalam, terbentuknya mitos-mitos mengenai hantu perempuan di Indonesia mengindikasikan adanya campur tangan ideologi politik untuk mengendalikan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan.
Sosok hantu perempuan merupakan langkah strategis untuk membungkam kaum perempuan dan melanggengkan ideologi patriarki.
Melalui wacana yang terus-menerus direproduksi melalui media film, bahasa dan simbol, ideologi patriarki telah mengakar di dalam alam pikiran masyarakat.
Sehingga tidak mudah untuk diubah, termasuk mengubah tafsir masyarakat terhadap mitos-mitos arwah para perempuan tersakiti tersebut.
Media dapat menjadi lokasi strategis dalam memperkokoh, menggugat, atau bahkan membentuk ideologi di masyarakat.
Sehingga upaya dekonstruksi citra perempuan, citra Sundel Bolong, citra hantu perempuan yang selama ini berada dalam posisi liyan perlu dilakukan dengan memanfaatkan media, baik media konvesional maupun media digital.