Opini Sunarji Harahap: Purbaya Yudhi Sadewa, Sri Mulyani dan 4 Kegagalannya

photo author
- Jumat, 12 September 2025 | 06:50 WIB
Sunarji Harahap
Sunarji Harahap

Realitasonline.id | Pergantian menteri sebenarnya sesuatu hal yang biasa tetapi kali ini tak terduga Presiden Prabowo melakukan reshuffle kabinet karena ada satu menteri yang sebelumnya merupakan menteri andalan, baik dalam Pemerintah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) satu kali, kemudian pemerintahan Jokowi dua kali yaitu Sri Mulyani.

Kepiawaian dari Sri Mulyani sudah tidak diragukan lagi apalagi orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Jabatan ini diembannya mulai 1 Juni 2010 lalu. Pergantian tersebut cukup mengejutkan meski hal itu adalah hak prerogatif presiden, pasca-tragedi demokrasi dengan adanya unjuk rasa menolak tunjangan perumahan DPR RI yang berujung tragedi nasional menimbulkan keterkagetan bagi publik.

Hal ini juga Sri Mulyani satu-satunya Menteri yang terkena dampak penjarahan para pendemo kemarin. Tentunya ini amarah rakyat dari kebijakan yang belum sesuai dengan harapan rakyat.
Ada 4 poin kegagalan Sri Mulyani di antaranya:


1. Ketergantungan pada Utang yang Mengkhawatirkan


Di tengah kegagalan dalam meningkatkan penerimaan pajak, Sri Mulyani tampaknya semakin mengandalkan utang untuk menutupi kekurangan dalam anggaran negara. Dalam beberapa tahun terakhir, utang pemerintah Indonesia telah meningkat secara signifikan, mencapai Hingga akhir April 2025, tumpukan utang pemerintah Indonesia nyaris menyentuh  Rp 9.105 triliun.

Baca Juga: Opini Sunarji Harahap: Membudayakan Literasi Ekonomi Keuangan


Angka tersebut merupakan gabungan dari posisi utang per akhir Desember 2024 sebesar Rp 8.680,13 triliun, ditambah realisasi penarikan utang baru selama Januari–April 2025 sebesar Rp 304 triliun, maka prosentase utang pemerintah atas PDB sebesar 37,94% per April 2025.


Meski rasio utang tersebut masih berada di bawah ambang batas aman 60% yang ditetapkan dlm UU Keuangan Negara, dan juga di bawah target APBN 2025 yang mematok rasio utang sekitar 37,9% dari PDB, Badiul menilai pemerintah perlu tetap waspada. Pemerintah harus hati-hati karena sudah mendekati ambang batas target rasio utang 37,9%. Karena, meskipun rasio masih aman, trennya terus naik, dan perlu dikendalikan agar tidak menekan APBN ke depan.


penggunaan utang di era Sri Mulyani tampaknya lebih banyak diarahkan untuk menutup defisit anggaran rutin, alih-alih berfokus pada investasi infrastruktur atau sektor-sektor produktif lainnya. Kondisi ini justru menguatkan posisi Indonesia sebagai negara yang sangat rentan terhadap guncangan ekonomi global, terutama dengan adanya kenaikan suku bunga internasional dan ketidakstabilan pasar.


Pengelolaan utang harus lebih transparan dan diarahkan pada investasi yang produktif. Utang yang diambil harus digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang jelas manfaat ekonominya, sehingga dapat membantu memperkuat pendapatan negara di masa depan, bukan sekadar menambal defisit anggaran.


2. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis di sejumlah daerah

Baca Juga: Opini Harris Arthur Hedar: Hoaks, Miscaption, Deepfake, dan Sesat Pikir Pelajaran Berharga Kerusuhan Agustus


Peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia diwarnai keresahan masyarakat akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak drastis di sejumlah daerah. Kenaikan pajak hingga ratusan bahkan ribuan persen ini memicu gelombang protes warga, baik melalui aksi unjuk rasa maupun media sosial, karena dinilai memberatkan kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih.


Sejak awal 2025, sejumlah pemerintah daerah memberlakukan kenaikan PBB dengan persentase yang berbeda-beda. Data lapangan menunjukkan lonjakan antara 200% hingga 1000% di berbagai wilayah. 1. Kabupaten Pati, Jawa Tengah – Rencana kenaikan 250% dibatalkan setelah aksi protes masyarakat.2. Jombang, Jawa Timur – Kenaikan mencapai 333% hingga 800%, membuat beban warga meningkat dari Rp300 ribu menjadi Rp3,5 juta per tahun. 3. Kabupaten Semarang, Jawa Tengah – Warga mengeluhkan kenaikan hingga 400%, meski pemkab membantah dan menyebut penyebabnya adalah perubahan fungsi objek pajak. 4. Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan – Aksi unjuk rasa menolak kenaikan hingga 300% digelar di depan kantor DPRD. 5. Cirebon, Jawa Barat – Beberapa wilayah mengalami lonjakan PBB hingga 1000%, memicu gerakan protes komunitas warga secara daring. 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Iin Prasetyo

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

ATR/BPN Permudah Masyarakat Cek PPAT Digital

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:17 WIB
X