Selain itu, Dewas KPK juga memberikan penjelasan terkait uang asing sebesar Rp 7,5 miliar yang tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Dewas KPK menyatakan bahwa Firli Bahuri memberikan alasan bahwa uang tersebut bukan gratifikasi dan diterima sebelum menjabat sebagai Ketua KPK.
Baca Juga: Tungku PT ITSS Di Morowali Meledak, Cina Sampaikan Belasungkawa
Firli Bahuri mengklaim uang tersebut diperoleh dalam pelaksanaan tugas di luar negeri saat bertugas di Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Dewas KPK menjelaskan bahwa Firli Bahuri tidak melaporkan proses penukaran uang asing ke dalam rupiah dalam LHKPN, yang seharusnya dilaporkan dalam bagian kas.
Dewas KPK menekankan bahwa seharusnya Firli Bahuri melaporkan mata uang asing tersebut sebagai bagian dari kewajibannya.
Baca Juga: BRI Hadirkan Platform Training Virtual Canggih BRISMARTVERSE, Terus Kembangkan Kapasitas Pekerja
Selain itu, Dewas KPK juga menyoroti ketidaklaporan harta kekayaan atas nama istrinya, seperti apartemen dan beberapa bidang tanah, dalam LHKPN.
Dewas mengungkapkan bahwa Firli Bahuri telah mengisi LHKPN dengan tidak jujur, sementara sebelumnya ia selalu meminta data kepatuhan LHKPN dari pejabat di daerah sebelum melakukan perjalanan dinas ke daerah tersebut.
Firli Bahuri dihadapkan pada sejumlah hal yang memberatkan. Selain tidak mengakui perbuatannya, Firli juga tidak hadir dalam sidang kode etik tanpa alasan yang sah, memberikan kesan perlambatan persidangan, dan pernah terkena sanksi etik sebelumnya.
Baca Juga: Gugur di Papua, Jenazah Kopda Hendrianto di Pulangkan Ke Jambi
Dewas KPK menegaskan bahwa tidak ada faktor yang dapat meringankan posisi Firli Bahuri dalam kasus ini.
(ZUF)