Penulis : Diana Br Sitepu, S.Kep., Ns & Dr. Siti Zahara Nasution, S.Kp., MNS (Program Magister Ilmu Keperawatan F.Kep. USU)
Realitasonline.id - Bayangkan jika seorang anak tidak bisa tumbuh sesuai usianya bukan karena malas makan, melainkan karena tubuhnya sudah lama kekurangan gizi tanpa disadari.
Itulah stunting masalah gizi kronis yang masih menghantui banyak keluarga di
Indonesia.
Menurut World Health Organization (2023), satu dari empat anak di negara berkembang mengalami stunting. Lebih dari sekadar tubuh pendek, stunting dapat menghambat kecerdasan, menurunkan produktivitas, bahkan meningkatkan
risiko penyakit kronis di masa depan.
Mengapa Stunting Masih Terjadi?
Stunting tidak muncul dalam semalam. Ia berawal dari asupan gizi yang tidak seimbang, infeksi berulang, dan lingkungan yang kurang bersih. Namun, ada satu faktor penting yang sering diabaikan: kurangnya komunikasi efektif antara tenaga kesehatan dan keluarga.
Penelitian Smith et al. (2023) menunjukkan bahwa program intervensi berbasis pemberdayaan masyarakat mampu menurunkan angka stunting secara signifikan jika keluarga dilibatkan aktif dalam edukasi gizi dan kesehatan anak.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang belum memahami pentingnya ASI eksklusif, pemberian makanan bergizi seimbang, serta pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin.
Komunikasi sebagai Fondasi Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat bukan hanya tentang memberikan bantuan, melainkan mengubah kesadaran dan perilaku.
Di sinilah komunikasi memegang peran utama. Ketika tenaga kesehatan dan keluarga berdialog secara terbuka, mereka saling memahami kebutuhan, keterbatasan, dan solusi yang bisa dilakukan bersama.
Dalam konteks keperawatan, hal ini sejalan dengan Goal Attainment Theory dari Imogene King, yang menekankan bahwa keberhasilan kesehatan dicapai ketika perawat dan keluarga memiliki tujuan yang sama serta saling mendukung.