Krisis Kemanusiaan dalam Pelayanan Kesehatan
Fenomena burnout petugas kesehatan, depersonalisasi pasien (menjadi "pasien bed 5" alih-alih nama pribadi), dan keluhan tentang pelayanan yang "dingin dan tidak
peduli" adalah gejala dari hilangnya sentuhan filosofis dalam praktik kesehatan.
Ketika perawat hanya dilihat sebagai "tangan teknis" yang mengeksekusi protokol, bukan sebagai agen terapeutik yang membawa penyembuhan melalui kehadiran dan caring, maka terjadilah krisis kemanusiaan.
Filsafat keperawatan mengingatkan bahwa healing (penyembuhan sejati) berbeda dengan curing (penyembuhan fisik). Seorang pasien bisa sembuh dari penyakitnya tetapi tetap merasa tidak "sembuh" jika martabat dan kemanusiaannya tidak dihormati selama proses perawatan.
Baca Juga: Pemberdayaan Masyarakat: Kunci Kemandirian Kesehatan dalam Perspektif Keperawatan Orem
Membangun Masa Depan yang Manusiawi
Negara-negara maju seperti Skandinavia, Kanada, dan Jepang telah lama mengintegrasikan filsafat keperawatan dalam kurikulum pendidikan dan kebijakan
kesehatan nasional mereka. Mereka memahami bahwa sistem kesehatan yang
berkelanjutan bukan hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi tentang nilai-nilai
kemanusiaan yang dihayati oleh setiap perawat.
Indonesia, dengan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur Pancasila, seharusnya menjadi contoh dalam mengembangkan filsafat keperawatan yang berakar pada
kearifan lokal: gotong royong, penghormatan pada sesama, dan kepedulian terhadap yang lemah. Perawat Indonesia tidak boleh hanya menjadi peniru praktik Barat, tetapi pengembang model keperawatan yang khas—yang menggabungkan kecemerlangan ilmiah dengan kearifan budaya Nusantara.
“Karena pada akhirnya, pasien tidak hanya membutuhkan obat yang tepat atau prosedur yang akurat—mereka membutuhkan kehadiran yang peduli, sentuhan yang menyembuhkan, dan pengharapan bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan melawan penyakit".