Realitasonline.id-Denpasar | Bali, destinasi wisata populer di Indonesia, kembali masuk dalam daftar tempat yang tidak direkomendasikan untuk dikunjungi pada tahun 2025 oleh Fodor's, penerbit panduan perjalanan asal Amerika Serikat.
Penunjukan ini bertujuan meningkatkan kesadaran terhadap dampak overtourism Bali dan tantangan keberlanjutan yang dihadapi pulau tersebut.
Fodor's menjelaskan bahwa pesatnya pembangunan tidak terkendali di Bali, yang dipicu oleh overtourism, telah berdampak buruk pada lingkungan, budaya, dan ekosistem lokal.
Situs resminya menyebutkan, “Pembangunan ini merambah habitat alami, mengikis warisan lingkungan dan budaya, serta menciptakan 'kiamat plastik'.”
Baca Juga: Pengasuh ini Cium dan Susui Anak Majikan Tanpa Izin, Netizen: Lu Jahat Banget!
Data menunjukkan bahwa Bali menghasilkan 1,6 juta ton sampah setiap tahun, dengan 303.000 ton di antaranya adalah plastik. Ironisnya, hanya 7 persen dari sampah plastik tersebut yang berhasil didaur ulang.
Masalah ini semakin memburuk dengan meningkatnya jumlah wisatawan pasca-pandemi. Pada tahun 2023, lebih dari lima juta wisatawan mengunjungi Bali.
Meski berdampak positif pada perekonomian, lonjakan tersebut membebani infrastruktur daerah. Akibatnya, sampah plastik mencemari pantai-pantai ikonik seperti Kuta dan Seminyak.
Fenomena overtourism tidak hanya memengaruhi lingkungan, tetapi juga hubungan sosial antara wisatawan dan masyarakat lokal.
Baca Juga: Bangga ! Kementerian Kebudayaan Dorong Rendang Jadi Warisan Budaya Dunia di UNESCO
Para ahli menilai bahwa minimnya rasa hormat wisatawan terhadap budaya setempat menjadi penyebab utama keretakan ini.
Kristin Winkaffe, seorang pakar perjalanan berkelanjutan, memperingatkan bahwa tanpa langkah nyata, identitas budaya Bali bisa terancam.
Fodor's menegaskan bahwa daftar tersebut tidak bertujuan memboikot destinasi wisata, melainkan mendorong praktik pariwisata yang lebih berkelanjutan.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam penyusunan daftar ini meliputi popularitas yang berlebihan, kerusakan lingkungan, tekanan sosial terhadap penduduk, serta kurangnya infrastruktur yang memadai.