Halal Bi Halal dan Semangat Perdamaian

photo author
- Rabu, 10 Mei 2023 | 18:57 WIB
Dr. Muktarruddin, MA (Ketua MUI Kecamatan Percut Seituan/ Dosen UIN SU Medan) (Realitasonline.id/ dokumen)
Dr. Muktarruddin, MA (Ketua MUI Kecamatan Percut Seituan/ Dosen UIN SU Medan) (Realitasonline.id/ dokumen)

Realitasonline.id | Pasca hari raya Idul Fitri tepatnya di bulan Syawal biasa dilaksanakan halal bihalal. Halal bi halal merupakan kalimat majemuk yang agak sulit dimaknai jika diartikan satu per satu. Halal artinya diperbolehkan atau dihalalkan lawannya haram artinya dilarang atau tidak halal. Halal bi halal yang dimaksud adalah kegiatan saling bermaaf-maafan atas kesalahan atau kekhilafan di masa lalu yang biasa dilakukan setelah Lebaran.

Biasanya kegiatan halal bi halal dilaksanakan dengan mengundang keluarga besar yang terikat dalam satu kekerabatan maupun lembaga. Namun, akibat kemajuan media sosial menyebabkan budaya halal bi halal ini semakin jarang dilakukan. Karena antar individu sudah dapat berinteraksi lewat media sosial tanpa harus berjabat tangan. Walaupun diakui bahwa komunikasi langsung akan lebih baik dibanding komunikasi bermedia.

Budaya halal bi halal merupakan budaya yang positif dari sisi ajaran Islam. Secara syariat, budaya halal bi halal hukumnya sunnah bahkan wajib. Karena hakikat halal bi halal itu adalah saling bermaaf-maafan yang dianjurkan agama. Seandainya jika tidak dilakukan akan terkoyaklah ukhuah Islamiah maka melaksanakan halal bi halal hukumnya wajib. Kaidah hukum Islam mengatakan “Mala yatimmul wajibu illa bihi fahuwal wajib” (Perkara yang menjadi penyempurna perkara wajib maka hukumnya wajib”.

Baca Juga: Mohon Perhatian bagi Warga Padang Sidempuan, karena Ada Gangguan PLN Padamkan Listrik

Apa yang harus diperhatikan dalam berhalal bi halal?

Pertama, laksanakanlah dengan ikhlas. Tidak menutup kemungkinan halal bi halal dilakukan sekedar seremonial tetapi di dalam hati tetap menyimpan sakit hati dan dendam.

Kedua, perioritaskanlah halal bi halal kepada mereka yang mungkin terzolimi atau tersakiti. Rasulullah mengingatkan:

“Laisal Wasilu bilmukafi walakinnal wasilu alladzi idza qatha’at rahimuhu washolaha”

Artinya: Silaturahmi itu bukanlah yang saling membalas kebaikan akan tetapi hubungan yang terputus lalu menjalinnya (HR Bukhari).

Ketiga, dengan menyebutkan kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulangi kembali.

Bolehkah membalas keburukan dengan keburukan yang setimpal? Boleh, akan tetapi tidak akan mendapat pahala karena perbuatan itu tidak disenangi Allah.

Baca Juga: Langkat Masuk 10 Besar, Langkat Komit ASN Ber-AKHLAK Tak Hanya Slogan

Sebagaimana surat As Syura:40 yang artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim”.

Namun, ada juga orang yang berhenti menzalimi orang lain setelah ia merasakan kezaliman yang sama. Seperti syair yang mengingatkan: “Andai kau merasakan sakit yang kau berikan kepadaku. Ku yakin, kau tak akan sanggup untuk bertahan. Andai yang kau lakukan dapat kukembalikan kepadamu kupastikan dirimu lebih rapuh dariku”.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ayu Kesuma Ningtyas

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

PTPN1 Regional 1 Sembelih 13 Lembu, 4 Kambing

Minggu, 8 Juni 2025 | 06:46 WIB
X