Baca Juga: Apa Tanggapan PT BSP Soal Proyek Pembangunan Tol Gunakan Jalan Akses Perusahaannya
Jika terjadi ketidakakuratan dalam penetapan hari dan tanggalnya secara otomatis membawa ibadah tersebut tergolong bisa tidak sah. Apalagi kedua hari besar ini merupakan perayaan puncak kegembiraan umat muslim.
Seperti apa hubungan penetapan hari besar itu dengan ibadah dimaksud ?
Kita ambil contoh Idul Fitri. Merayakan hari raya fitrah ini sebelumnya didahului dengan menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Ketika Idul Fitri tiba, masuk 1 Syawal maka berdasarkan hukum Islam diharamkan berpuasa pada satu hari raya tersebut.
Baca Juga: Alamak! Fraksi Demokrat DPRD Medan Sebut Anggaran APBD Banyak Habis Hanya Untuk Bayar Gaji Pegawai
Begitu juga sebaliknya kalau tak berpuasa padahal dalam hitungan masih berada di bulan puasa, maka hukumnya dianggap dosa. Nah, pertanyaannya adanya dua versi penetapan hari raya menimbulkan kegamangan bagi umat muslim. Yang satu menyatakan lebih dahulu merayakan, sementara dilain pihak merayakan belakangan alias hari berikutnya.
Belum lagi seperti mengerjakan ibadah puasa Arafah. Puasa sunnah ini dikerjakan ketika terjadi puncak haji di mana jamaah melaksanakan wukuf di Padang Arafah Arab Saudi tepatnya tanggal 9 Dzulhijjah.
Jadi, kalau saja puasa sunnahnya tidak pas dengan waktu jamaah wukuf di Arafah, apakah ini masih bisa dikatakan sebagai puasa Arafah? Sebenarnya ini bisa menjadi rujukan dalam menetapkan Idul Adha setiap tahun.
Baca Juga: Kota Medan Rawan Begal dan Premanisme, DPRD Medan Minta Polda Sumut Gerak Cepat
Jadi hubungan penetapan hari besar Islam dengan pelaksanaan ibadah terlihat jelas, sehingga pimpinan negara bisa bersinergi dengan seluruh elemen yang ada untuk mengambil sikap dalam penentuan Hari Raya untuk kemaslahatan umat Islam Indonesia.
Pertanyaannya, dengan negara lain bisa menjalin keseragaman terkait penentuan Hari Raya. Sementara dengan bangsa sendiri malah seperti sulit untuk bersatu.
Seharusnya hal ini tidak terjadi, andai saja penetapan dua hari raya ini sebelumnya bisa diambil titik persamaannya. Inikan tidak, masing-masing pihak selalu saja punya sudut pandang sendiri dengan mengedepankan ego sektoralnya.
Bagi pemerintah seharusnya bisa saja mengambil posisi ang bijak dengan menampung masukan dari semua pihak. Dalam Islam pemerintah dianggap sebagai "Ulil Amri Mingkum" (pengikut umat).
Baca Juga: Anggota DPRD Sumut Syamsul Qamar Reses di Desa Sialagundi Sipirok Tapsel, Ini Usulan Warga Petani
Segala urusan kemaslahatan yang diputuskan seharusnya diikuti oleh semua yang mengaku warga negara Indonesia khususnya muslim harus tunduk dan patuh.